SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok Harian Jogja)

Solopos.com, SRAGEN– Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS) memastikan bahwa tidak ada uang ganti rugi bagi warga yang tanahnya longsor akibat erosi sungai utama maupun anak sungai bengawan Solo. Mengingat, kelongsoran bukan dikarenakan adanya unsur kesengajaan dari BBWSBS, melainkan faktor alam.

Kendati demikian, pihak BBWSBS tetap akan mengusahakan untuk membangun tanggul rajutan untuk menghindari pelebaran tanah longsor. Namun, rencana tersebut belum bisa direalisasikan tahun ini karena mereka masih fokus pada peningkatan fungsi tanggul-tanggul baru guna mengantisipasi bencana saat musim hujan tahun ini.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Pejabat Hubungan Masyarakat (Humas) BBWSBS, Joko Sukoco, saat diwawancarai solopos.com, Senin (27/1/2014), mengatakan jika memang longsor pada tanggul sepanjang aliran sungai Bengawan Solo atau anak sungai Bengawan Solo sudah membahayakan, bakal segera dilakukan peninjauan.

Selanjutnya bakal diprogramkan menjadi skala prioritas. “Ya kalau memang sudah membahayakan,nanti kami lakukan peninjauan dan akan diprioritaskan. Tapi pembangunan di anakan sungai Bengawan itu bukan permanen melainkan hanya rajutan dan memang enggak bisa dilakukan serentak karena aliran Sungai Bengawan sangat panjang, kami belum ada anggaran sebanyak itu,” tegasnya.

Sementara, mengenai permintaan masyarakat enam desa di Kecamatan Masaran yang merasa menjadi korban normalisais aliran Sungai Grompol, tambah Joko, sejak awal dilakukan normalisasi sungai, memang tidak ada perjanjian ganti rugi tanah yang hilang akibat longsor.

Bahkan, aturan ganti rugi itu, menurutnya tidak ada dalam program normalisasi di sungai manapun. Konsep normalisasi sendiri, menurutnya hanya menormalkan kembali sungai yang sudah dangkal dengan mengeruk sedimen tanahnya, lalu tanah hasil kerukan diletakkan di kiri dan kanan sebagai tanggul. Bukan l melakukan pelebaran sungai dengan memakan lahan warga.

Normalisasi aliran sungai bengawan yang dilakukan sekitar awal tahun 2008 lalu, lanjut Joko,  tidak hanya dilakukan di sekitar Masaran. Melainkan dilakukan serempak sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo, hingga wilayah Madiun. Saat itu, normalisasi dilakukan pasca-banjir besar yang melanda wilayah Soloraya dan sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo sekitar tahun 2007. “Normalisasi waktu itu dilakukan serempak. Setelah adanya banjir besar sekitar Tahun 2007. sebagai bentuk penanggulangan bencana jangka pendek,” tandasnya lagi.

Joko justru menyarankan kepada masyarakat sekitar untuk menanamai lahan warga yang berada di pinggiran sungai dengan rumput gajah untuk mengurangi erosi. Ia juga mewanti-wanti masyarakat untuk tidak membiarkan lahan pinggir sungai dijadikan sebagai lahan terbuka atau permukiman  karena bisa memicu longsor.

Terpisah, Kabid Pengairan DPU Sragen, Azhari, mengatakan masalah normalisasi sungai bukan tanggungjawab mereka, melainkan kewenangan BBSWBS. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen juga tidak bisa berbuat apa-apa. Termasuk mengenai tuntutan masyarakat yang meminta ganti rugi lahan. “Kalau kami enggak bisa berbuat apa-apa. Itu sudah urusannnya BBSWBS,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya