SOLOPOS.COM - Kepala Dinas Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disadmindukcapil) Kota Solo Yuhanes Pramono. (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SOLO–Pemkot Solo mencatat sekitar lima pasangan beda agama menikah setiap tahun. Belum ada pengajuan menikah beda agama setelah Mahkamah Agung (MA) menerbitkan larangan pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama.

Hal itu disampaikan Kepala Dinas Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disadmindukcapil) Kota Solo Yuhanes Pramono ditemui Solopos.com di kantornya, Senin (31/7/2023) siang. Dia mengatakan pasangan beda agama mendapatkan pelayanan menikah di Kota Solo sebelumnya.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

“Untuk perkawinan beda agama di Solo kan sudah bisa dikatakan itu berjalan ya. Bisa dengan ketetapan pengadilan. Pengadilan Negeri Solo mau menerima untuk itu,” jelas dia.

Menurut dia, pihaknya akan mencatat dan menerbitkan akta perkawinan setelah pasangan mendapatkan putusan pengadilan dan memenuhi persyaratan lainnya. Disadmindukcapil Kota Solo juga menyerahkan KTP dan kartu keluarga yang baru kepada pasangan pengantin.

Pramono mengatakan belum ada permohonan perkawinan beda agama di Kota Solo setelah adanya larangan itu. Larangan dituangkan dalam Surat Edaran MA (SEMA) No.2/ 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antarumat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

SEMA tersebut memerintahkan pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan pasangan berbeda agama dan kepercayaan. Disadmindukcapil Kota Solo masih menunggu petunjuk dari Kementerian Dalam Negeri.

“Kami menunggu nanti pedomannya bagaimana? Tapi kan sebetulnya surat edaran MA itu kan untuk lingkungan peradilan. Kalau kemudian nanti memang dari pengadilan ini tidak mengizinkan itu ya kemudian tidak ada pengajuan kepada kami. Posisi kami di hilir, hulunya di pengadilan,” jelas dia.

Setara Institute mengkritik terbitnya SEMA tersebut dengan berbagai pertimbangan. Pertama, secara substantif SEMA No.2/2023 dinilai tidak kompatibel dengan kebhinekaan masyarakat Indonesia dan bangunan negara Pancasila.

“Fakta objektif keberagaman identitas warga negara, termasuk dari segi agama, seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih baik bagi seluruh warga negara,” kata Wakil Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Tigor Naipospos, dalam siaran pers, Kamis (20/7/2023).

Kedua, Setara menilai SEMA No. 2/ 2023 merupakan kemunduran. Alasannya, SEMA ini menutup ruang progresivitas dunia peradilan untuk menjamin hak-hak warga dengan latar belakang beragam.

“Sebelumnya, beberapa pengadilan negeri [PN] telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, seperti yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN Yogyakarta,” kata Tigor.

Ketiga, SEMA itu juga dinilai menunjukkan memburuknya situasi demokrasi Indonesia yang dalam lima tahun terakhir mengalami defisit. Defisit itu, menurut Setara, bukan hanya menimpa cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif.

“Apalagi pendorong keluarnya SEMA adalah tekanan dari politikus cum Wakil Ketua MPR, Yandri Susanto, yang mendatangi MA dan meminta pembatalan penetapan pernikahan beda agama di PN Jakarta Selatan,” ujar dia.

Keempat, SEMA tersebut menjadi instrumen penyeragaman putusan pengadilan. SEMA, kata Tigor, seharusnya bersifat internal dan hanya mencakup administrasi peradilan.

SEMA bukan instrumen untuk mengekang kebebasan hakim dalam melakukan pembuktian, memberikan penafsiran, dan mengambil keputusan yang adil sesuai bukti-bukti di persidangan.

Kelima, Setara memandang kewajiban negara dalam perkawinan antarwarga negara bukan memberikan pembatasan, melainkan menghormati dan melindungi pilihan masing-masing. Kewajiban negara hanya mencatat perkawinan warga negara dan memberikan keadilan dalam pelayanan administrasi terkait.

Keenam, dalam analisis Setara, lahirnya Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan merupakan salah satu penyebab menguatnya segregasi masyarakat Indonesia. Segregasi berdasarkan agama menjadi semakin dalam ketika paham keagamaan puritan berkembang pada 1970-an. Paham ini diakomodasi pemerintah Orde Baru untuk mendapatkan insentif politik dari kelompok-kelompok keagamaan.

“Sebelum dekade itu, pernikahan beda agama adalah suatu hal yang wajar di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam suatu keluarga di tengah-tengah masyarakat Indonesia, kakak dan adik biasa berbeda agama, seperti perbedaan agama kedua orang tua mereka,” kata Tigor.

Menurut Setara, hal ini harus dihormati. Apalagi urusan pernikahan dan agama pada dasarnya merupakan wilayah pribadi tiap-tiap warga. Kondisi ini sebenarnya memperkuat literasi lintas agama dan pemajuan toleransi.

Terkait pembatasan tersebut, lembaga itu memandang Indonesia semakin terpolarisasi dan mengalami segregasi. Hal itu didorong bukan hanya oleh berkembangnya paham keagamaan konservatif tetapi juga difasilitasi regulasi dan perangkat hukum negara yang diskriminatif. Salah satunya adalah SEMA Nomor 2 Tahun 2023.

“Setara Institute mendesak Ketua MA berani mencabut SEMA tersebut,” kata Tigor. Dengan tujuan yang sama, Setara juga mendesak DPR dan pemerintah merevisi UU Perkawinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya