SOLOPOS.COM - Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka (kiri), memindai QR Code dengan transaksi pembayaran nontunai melalui Akselerasi Digitalisasi Pembayaran Terkini (Adipati) QRIS saat sosialisasi penyelenggaraan Solo Great Sale (SGS) 2021 di Pasar Gede, Solo, Jumat (3/9/2021). (Nicolous Irawan/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Pandemi Covid-19 telah mempercepat digitalisasi pasar tradisional di Solo, Jawa Tengah melalui penerapan pembayaran nontunai. Program Pemerintah Kota Solo yang dimulai sejak 2018, atau jelang tahun kelima implementasinya di 2023 ini memasuki babak baru. Bagaimana para pedagang pasar tradisional di Kota Liwet mempraktikkan transaksi jual beli secara digital? 

Tercatat, sejumlah bank BUMN maupun swasta ramai-ramai merangkul pedagang pasar tradisional untuk menerapkan sistem pembayaran non tunai di Kota Bengawan. Pemerintah Kota Solo menargetkan 44 pasar tradisional menggunakan transaksi non tunai hingga akhir 2022. 

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Pasar Gede dan Pasar Klewer jadi dua pasar induk percontohan. Ribuan pedagang kios, los hingga oprokan [tanpa kios/los] jadi sasaran. Mereka mendapatkan tawaran pemasangan kode pembayaran digital. Namun sayangnya, berdasarkan pengamatan Solopos.com, program itu seperti jalan di tempat. Tak sedikit pedagang yang melepas kode pembayaran digitalnya dan memilih pembayaran tunai. 

Meski begitu, sejumlah pedagang memilih bertahan menggunakan pembayaran nontunai dengan berbagai pertimbangan. Salah seorang pedagang kios jamu dan empon-empon di Pasar Gede, Fitri, 37, memasang lebih dari tiga cara pembayaran digital di kiosnya, yakni QRIS, OVO dan ShopeePay. Namun sayangnya, tak sampai 30 persen konsumen yang memanfaatkan kanal pembayaran digital.

“Karena saya pasang stiker kode pembayaran digital, konsumen sudah tahu kalau saya melayani pembayaran nontunai. Sehingga tak perlu saya tawarkan lagi. Tapi memang lebih banyak pembeli yang bayar tunai. Mereka yang bayar nontunai itu karena enggak bawa uang pas, takut enggak ada kembalian, atau karena merasa lebih aman bayar nontunai,” kata dia, kata dia kepada Solopos.com, Minggu (12/3/2023).

Fitri mengaku sejumlah pedagang lain memilih melepas kode pembayaran digital. Alasan mereka beragam, mulai takut transfer uang dari pembeli tak masuk rekening, lebih ribet karena harus mengecek rekening secara berkala, hingga butuh dana tunai untuk kulakan lagi. “Hampir semua pedagang sudah ditawari, ada yang mau, ada yang enggak. Ada yang mau kemudian dilepas,” tuturnya.

Pasar Gede
Kode pembayaran QRIS tampak digantung di salah satu kios pedagang di Pasar Gede, Minggu (12/3/2023). (Solopos/Mariyana Ricky P.D.)

Salah satu pedagang lain yang masih memasang kode pembayaran digital adalah pedagang oprokan makanan ringan, Wiyani, 45, yang mengaku tak masalah apabila konsumennya membayar secara nontunai. Namun, ia mengakui tak banyak yang menggunakan. 

“Pasar Gede jadi sasaran turis saat berkunjung ke Solo. Jadi, mau tidak mau saya harus beradaptasi melayani pembayaran digital. Kebetulan, sejak pasang sampai saat ini tidak ada kendala. Tapi memang saya akui tidak sedikit pedagang yang mengalami masalah. Ada [transaksi] yang uangnya tidak masuk rekening, padahal saat pembeli menunjukkan bukti pembayaran, tulisannya transaksi berhasil,” jelasnya, Minggu (12/3/2023).

Pedagang buah di Pasar Gede Timur, Yatmi, 42, justru memilih metode pembayaran lain meski tetap digital. Ia memajang nomor rekening di kiosnya. “Kalau QRIS kan uang masuk ke rekening pribadi sekitar 24 jam, nah, kalau transfer rekening, langsung bisa dicek uang masuknya. Konsumen saya rata-rata datang enggak bawa uang tunai,” kata dia, Selasa (28/2/2023).

Sedangkan, pedagang perak di Pasar Klewer, Keke, 45, sudah tiga tahun melayani pembayaran nontunai. Ia justru jadi salah satu agen bank BUMN yang melayani pembukaan rekening tabungan. 

“Karena saya sudah lama pajang kode pembayaran digital, bahkan sebelum ada program dari pemerintah, konsumen setia saya banyak yang bayar nontunai. Persentase-nya 50:50. Selama ini tidak mengalami kendala,” tuturnya.  

Ia mengakui masih sedikit pedagang di sekitarnya yang melayani pembayaran digital, meski sejumlah bank sudah menawarkan pemasangan kode pembayaran. Mayoritas yang menolak adalah pedagang berusia tua dan belum melek digital. 

“Memang susah karena kan harus punya ponsel yang support, selain harus rajin ke ATM dan mengambil uang hasil penjualan. Jadi enggak gampang [programnya]. Kendala lain, kios yang di lantai basement dan semi-basement, sinyalnya susah untuk transaksi digital,” ucap Keke.

pasar klewer
Kode pembayaran QRIS tampak ditempel di tembok salah satu kios pedagang kaus di Pasar Klewer, Minggu (12/3/2023). (Solopos/Mariyana Ricky P.D.)

Sementara itu, sejumlah pedagang di Pasar Gede dan Pasar Klewer menyampaikan alasan mengapa tidak melayani pembayaran nontunai. Seperti Karni, 52, pedagang buah di Pasar Gede sebelah Barat, yang tak lagi memajang kode pembayaran digital. Alasannya, karena tak ingin repot harus bolak-balik ke ATM untuk mengambil uang. 

“Awalnya saya pajang, meski enggak banyak yang bayar nontunai. Tapi saya pernah mengalami transaksi pembayaran QRIS yang uangnya tidak masuk ke rekening meski sudah 24 jam. Itu harus komplain dan tanya sama petugas bank. Dari situ saya merasa direpotkan dan malah uangnya tetap tidak masuk. Jadi, lebih baik tunai saja bisa langsung untuk kulakan lagi,” kisahnya.

Hal senada disampaikan Darsinah, 60. “Saat ditawari [pasang kode pembayaran] saya sempat mau, tapi akhirnya enggak saya lanjutkan karena repot. Uangnya kan berhenti di rekening 24 jam, padahal saya harus kulakan. Akhirnya tidak saya pasang [kode-nya]. Enggak ada konsumen yang tanya [pembayaran digital] karena yang bisa [bayar digital] pasti kode-nya dipasang,” ucap pedagang sayur itu.

Pedagang kaus di Pasar Klewer, Beni, 40, masih memasang kode pembayaran digital di kiosnya meski tak lagi digunakan. “Kalau ada yang tanya bisa dipakai tidak, saya jawab sedang gangguan, jadi mereka bayar tunai. Saya dulu bersedia pasang karena ramai-ramai sosialisasi. Tapi, limit yang diberikan terbatas, dan pernah uang masuknya sampai 2×24 jam sehingga saya akhirnya berhenti [pajang kode pembayaran digital],” ucapnya.

Ia juga berkaca dari pengalaman pedagang lain yang dananya tak masuk meski notifikasi pembayarannya berhasil. Ada pula yang kodenya gangguan, dana konsumen terpotong, namun tidak masuk rekening pedagang. Selang berapa lama, dana itu kembali ke konsumen, padahal ia sudah membawa pulang belanjaan.

“Sistemnya kurang sempurna, dan harus rajin komplain kalau seperti itu [transaksi gagal]. Mengapa dananya harus berhenti dulu di bank baru masuk ke rekening pribadi pedagang, kenapa tidak langsung? Mungkin itu jadi alasan program ini enggak benar-benar jalan. Kalau ada yang minta pembayaran nontunai, saya biasanya arahkan transfer ke rekening saya pribadi. Soalnya uang masuk bisa langsung dicek,” beber Beni.

Ketua Himpunan Pedagang Pasar Klewer, Tavip Harjono, mengakui berbagai kendala yang dihadapi pedagang dalam program digitalisasi pasar tradisional. Sejak digulirkan hampir tiga tahun lalu, tak sampai 30 persen pedagang yang masih mengaktifkan pembayaran nontunai. 

“Sebenarnya hampir semua pedagang sudah mendapat sosialisasi dan tawaran [pembayaran digital] dari berbagai bank. Mereka keroyokan [datang], tapi memang tidak banyak yang akhirnya bertahan. Kendala sinyal, banyak pedagang yang sudah tua, kurang update dengan perkembangan teknologi, dan ogah ribet bolak-balik ke ATM. Saya sendiri melayani [pembayaran digital], tapi kalau ada yang bayar tunai, tetap saya terima,” ucapnya.

Selain pembayaran nontunai, Pasar Klewer juga menjadi pilot project e-retribusi pasar pada 2016. Pedagang bisa membayar retribusi dengan e-Money, kemudian menempelkannya di mesin Tap Reader Machine (TRM). Program itu jauh lebih awal dibandingkan layanan pembayaran digital. 

“Itupun akhirnya jalan tersendat karena mesinnya rusak dan kendala sinyalnya enggak sampai. Makanya pedagang kesulitan dan akhirnya bayar tunai lagi atau transfer ke bank,” ungkap Tavip.



Sekretaris Pasamuan Pedagang Pasar Tradisional (Papatsuta) Solo, Wiharto, membenarkan hal tersebut. Lamanya uang masuk dari transaksi pembeli ke rekening penjual membuat pedagang pilih pembayaran tunai. Ia mengakui sistem pembayaran digital lebih banyak manfaat seperti terhindar dari uang palsu, tak perlu menyediakan kembalian, dan transaksi yang lebih tercatat.

Namun, sejumlah permasalahan membuat mereka enggan. “Setiap pedagang punya karakter berbeda. Untuk pedagang yang kulakan harian, butuh fresh money cepat. Kalau uang tertahan 24 jam, mereka enggak bisa kulakan, utamanya pedagang kecil. Kalau transaksinya di bawah Rp2 juta per hari dan kulakannya senilai itu, lalu uangnya mandeg ‘kan mereka enggak bisa kulakan,” tuturnya.

digitalisasi transaksi solo digital SGS 2021 pasar soloraya
Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka (kedua dari kiri), berbelanja buah dengan transaksi pembayaran non tunai melalui Akselerasi Digitalisasi Pembayaran Terkini (AdipatiI) QRIS saat sosialisasi penyelenggaraan Solo Great Sale (SGS) 2021 di Pasar Gede, Solo, Jumat (3/9/2021). SGS 2021 yang akan berlangsung selama bulan Oktober menargetkan total transaksi Rp800 miliar. (Solopos/Nicolous Irawan)

Wiharto berharap perbankan lebih menyempurnakan sistemnya, sehingga pedagang tak ragu lagi beralih ke sistem pembayaran digital. Layanan customer service yang cepat dan setiap saat juga bisa menyokong program itu. 

“Katakan transaksi ada kendala, pedagang bisa langsung komplain dan ditangani. Selama ini kalau ada gangguan, penanganan bisa 7×24 jam, ya, untuk pedagang bermodal terbatas, mereka butuh uang segera untuk berputar, kalau menunggu selama itu ya kasihan,” tutup Wiharto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya