SOLOPOS.COM - Mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, saat ditemui wartawan seusai mengisi materi dalam Seminar Nasional Manuver Komunikasi Politik Dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2024 di Hotel Tosan, Solo Baru, Sukoharjo, Selasa (18/7/2023). (Solopos.com/Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO — Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi tak cawe-cawe alias ikut-ikutan dalam Pilpres 2024 mendatang. Hal itu disampaikannya seusai menjadi pemateri dalam Seminar Nasional Manuver Komunikasi Politik Dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2024 di Hotel Tosan, Solo Baru, Sukoharjo, Selasa (18/7/2023).

Cawe-cawe itu menabrak dan  melanggar etika politik termasuk etika demokrasi. Juga merupakan contoh yang tidak baik bagi masyarakat,” hal itu disampaikan pria yang juga praktisi hukum sekaligus Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum itu saat ditemui wartawan, Selasa.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Hal itu disampaikan Busyro lantaran Presiden Jokowi seolah menunjukkan dukungannya terhadap beberapa calon presiden mendatang. Menurutnya keterlibatan Presiden seolah tak menghargai dan mengintervensi proses berpikir rakyat dalam menentukan Pilpres 2024 mendatang.

“Masyarakat punya hak untuk merenung dan memikirkan presiden yang akan datang, yang betul-betul merupakan antitesa terhadap situasi sekarang ini. Jadi jangan seolah digiring, itu tidak menghormati rakyat,” tegas Busyro.

Menurut Ketua Komisi Yudisial pertama tersebut, dugaan keberpihakan Jokowi seolah menjadi refleksi dari politik pesanan yang mencerminkan adanya politik “selera pemesan”. Bahkan cawe-cawe Presiden pada kandidat tertentu menjadi salah satu manuver jelang Pemilu  2024.

Manuver lain yang tak kalah menarik, kata Busyro, di antaranya gonjang-ganjing jadwal pemilu, pengebutan pengesahan RUU yang berpihak pada oligarki, hingga munculnya isu perpanjangan masa jabatan presiden dan kepala desa.

Sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia tahun 1977 itu menyebut dalam demokrasi kualitatif harus ada iklim yang diciptakan dalam kompetisi yang adil. Politik dinasti yang marak terjadi saat ini sangat rawan korupsi.  Sudah banyak bukti terkait hal itu.

“Politik dinasti sekarang sudah terbukti, koruptor banyak dari suami istri, suami terbukti korupsi, yang melanjutkan [kepemimpinan] istri. Rezim ini salah satu prestasi buruknya muncul kebangkitan by design yaitu nepotisme, dalam lompatan yang kuat yaitu menjadi dinasti nepotisme,” papar Busyro.

Dinasti nepotisme saat ini dinilainya semakin kuat mengakar. Buktinya semakin banyak anak menteri maupun pejabat lain dalam kementerian yang menjadi Bupati di beberapa wilayah. Selain itu banyak keluarga pejabat seperti adik ipar, adik kandung bahkan menantu dan keluarga lainnya yang menjadi pejabat. Kursi kedudukan yang diberikan secara istimewa tersebut menurutnya tidak sehat.

Kemunduran Demokrasi

Demokrasi di Indonesia disebutnya kini dari stagnasi menuju kemunduran, sebab neoliberalisme kini sudah mulai masuk dalam arena pendidikan.

Sementara itu, Guru Besar FISIP UNS, Pawito, mengatakan pemilu sebenarnya merupakan suatu sendi utama dalam politik demokrasi. Dengan catatan pemilu dilaksanakan secara jujur dan adil. Serta tidak ada pembiaran kekuasaan untuk mencurangi proses-proses dan/atau tahapan-tahapan yang berlangsung pada pemilu.

Dengan demikian penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara diharapkan lebih mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan dan demokrasi. Sementara itu, manuver komunikasi politik menjelang Pemilu 2024 menurutnya ditandai setidaknya oleh tiga hal penting.

Pertama, manuver komunikasi politik menjelang Pemilu 2024 lebih berorientasi pada upaya mencapai atau mempertahankan kekuasaan. Identifikasi persoalan-persoalan penting yang dihadapi bangsa serta cara-cara menyelesaikannya tidak mendapat perhatian memadai. Apalagi mendiskusikan secara rinci mengenai upaya-upaya untuk memperbaiki nasib rakyat.

Kedua, manuver komunikasi politik Pemilu 2024 menurutnya dianggap lebih bersifat longgar terutama dilihat dari segi ideologi yang diyakin oleh elite politik bersangkutan. Ketiga, adanya kesan kematangan jiwa di antara para elite yang memungkinkan dicapainya keuntungan bersama (mutual advantage) di antara partisipan.

“Namun perosoalan ketulusan menjadi prasyarat untuk mencapai kesepakatan bersama. Tanpa ketulusan lebih kepada muslihat, jebakan, atau kebohongan. Sementara itu ketulusan meniscayakan keterbukaan yang menjadi letak etika berpolitik,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya