SOLOPOS.COM - Petani membajak lahan menggunakan mesin traktor di area persawahan Desa Jendi, Kecamatan Selogiri, Wonogiri, Selasa (12/12/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sejumlah permasalahan serius dalam bidang pertanian di Wonogiri. Data sensus itu bisa menjadi basis untuk menangani permasalahan mulai dari inflasi komoditas pertanian, regenerasi petani, hingga peningkatan kesejahteraan petani.

Pengajar Program Studi Agribisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Erlyna Wida Riptanti, saat diwawancarai Solopos.com melalui telepon, Minggu (17/12/2023), mengatakan hasil ST 2023 yang dilakukan BPS itu bisa menjadi pijakan penetapan kebijakan pertanian di Kota Sukses.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Dia menyatakan menurunnya usaha pertanian pada prinsipnya karena sektor pertanian tidak lagi dipandang bisa memberikan peningkatan pendapatan. Hal itu ditambah dengan laju urbanisasi yang terus terjadi setiap tahun di Wonogiri.

Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian juga menyebabkan produksi pertanian menurun di Wonogiri. Masalah lain yaitu lahan pertanian yang dimiliki petani semakin sempit dari tahun ke tahun.

Sistem pembagian warisan menjadi salah satu penyebab utamanya. Semakin banyak anak, maka lahan yang diwariskan kepada anak semakin sempit. Ini menjadikan petani sulit mendapatkan penghasilan layak, apalagi jika hanya menanam pertanian pangan seperti padi.

Menurut dia, kondisi itu pula yang membuat regenerasi petani di Wonogiri sulit dilakukan. Sektor pertanian dianggap tidak menarik untuk bidang usaha bagi anak muda. “Secara ekonomi, jika hanya digunakan untuk tanaman pangan, tidak akan membuat petani sejahtera,” kata Erlyna.

Komoditas Pertanian Bernilai Ekonomi Tinggi

Erlyna menyebut perlu ada sejumlah strategi dari pemangku kebijakan di Wonogiri untuk mengatasi masalah di bidang pertanian tersebut. Kabupaten Wonogiri memiliki karakteristik tanah, air, dan agroklimat yang berbeda dibanding daerah sekitarnya yang lebih subur.

Maka perlu dilakukan kajian atau survei kesesuaian untuk menentukan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi yang bisa ditanam petani. “Ini perlu kajian komprehensif untuk menentukan komoditas yang bisa memberikan peningkatan kesejahteraan petani,” ujar dia.

Dia menilai setiap kecamatan di Wonogiri memiliki karakteristik lahan yang berbeda, sehingga tidak bisa disamaratakan keunggulan produk pertanian. Perlu perbandingan komoditas untuk melihat mana yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Menurut dia, penyuluh pertanian lapangan seharusnya bisa berperan dalam memberikan informasi komoditas apa yang memberikan nilai ekonomi tinggi. “Komitmen para pemangku kepentingan dalam menetapkan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sangat diharapkan,” ungkapnya.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Pangan Wonogiri, produksi tanaman pangan di Wonogiri, khususnya padi, selalu mengalami surplus lebih dari 100.000 ton per tahun. Di sisi lain, sejumlah wilayah di Wonogiri masih potensial dikembangkan pertanian hortikultura.

Dalam data BPS Wonogiri, ada sejumlah komoditas pertanian selain pangan yang cukup unggul di Wonogiri yaitu cabai rawit, cabai besar, bawang merah, melon, dan terung.

Pada 2021, BPS Wonogiri mencatat produksi bawang merah mencapai 1.986 ton/tahun, melon 1.870 ton/tahun, cabai rawit 1.843 ton/tahun, terung 1.146 ton/tahun, dan cabai besar 243 ton/tahun.

Peta Penanaman Lahan Pertanian

Sebaran produksi komoditas itu antara lain di Slogohimo, Pracimantoro, Girimarto, Bulukerto, dan Giriwoyo. Selain itu, Wonogiri juga unggul dalam komoditas buah seperti pisang.

Produksi pisang di Wonogiri mencapai 23.678 ton/tahun pada 2021 dengan Kecamatan Ngadirojo menjadi penyumbang terbesar yaitu 42,5%.

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Wonogiri, Dwi Sartono, menyampaikan dibutuhkan petani saat ini adalah peta pertanian. Misalnya, jika dalam periode tertentu suatu daerah telah menanam saru produk tanaman, maka pemerintah memberi informasi kepada petani di Wonogiri untuk tidak menanam tanaman yang sama.

“Selama ini kan tidak seperti itu. Tidak ada rekomendasi bagi petani untuk menanam komoditas apa. Padahal pemerintah kan bisa tahu daerah A menanam apa, daerah B tanam apa. Kemudian jangan suruh kami tanam tanaman serupa dengan daerah itu. Soalnya pasti nanti harganya jeblok. Peta pertanian itu penting,” jelas Dwi.

Rahmad menyampaikan jika sejumlah masalah pertanian tidak segera teratasi, regenerasi petani di Wonogiri akan sulit dilakukan. Tingkat kesejahteraan petani pun sulit meningkat.

Ia menyebut salah satu yang menjadi momok para petani adalah ketidakstabilan harga komoditas hasil panen. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang bisa mengatasi fluktuasi komoditas pertanian yang terlalu tinggi.

“Mulai tahun depan, kami punya data inflasi komoditas strategis pertanian. Itu bisa menjadi data pemerintah untuk mengatur ekosistem perniagaan komoditas barang pertanian,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya