SOLOPOS.COM - Dinas Pendidikan Kota Solo mengadakan Focus Group Discussion (FGD) membahas strategi penanganan anak tidak sekolah dan anak putus sekolah di Grand Hap Hotel, Laweyan Solo, Jumat (9/6/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—-Dinas Pendidikan (Disdik) Solo merilis data anak putus sekolah (APS) dan anak tidak sekolah (ATS) di Solo yang mencapai 251. Jumlah ini tersebar di lima kecamatan di Solo.

Data ini disampaikan di Focus Group Discussion tentang Strategi Penanganan Anak Tidak Sekolah dan Anak Putus Sekolah di Grand Hap Hotel, Purwasari, Laweyan, Solo, Jumat (9/6/2023).

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Jika dipetakan pada masing-masing kecamatan, terdapat ATS dan APS di Kecamatan Banjarsari sebanyak 78 anak, Kecamatan Jebres sebanyak 63 anak, Kecamatan Laweyan 30 anak, Kecamatan Pasar Kliwon 42 anak, dan Kecamatan Serengan 38 anak. Data tersebut menghimpun anak berusia sekolah yakni 7 sampai 18 tahun.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Solo, Dian Rineta menyebut dari data tersebut terdapat sekitar 60% yang menyatakan tidak mau sekolah dengan berbagai alasan.

“Sementara follow up awal yang kita jalankan dari data yang sudah ada, lalu kita coba kasih kuesioner, salah satu hasilnya 60% itu tidak mau sekolah lagi,” kata dia ketika dimintai keterangan setelah FGD, Rabu.

Dia tidak menampik kemungkinan bahwa faktor anak putus sekolah dan tidak sekolah lantaran motivasi yang rendah. Bisa jadi motivasi itu tidak tumbuh dari anak lantaran pola asuh orang tua atau masalah lain.

“Kalau sudah seperti itu saya tidak bisa jalan sendiri, butuh bantuan dari stakeholders, termasuk media agar tersampaikan edukasi bahwa pendidikan itu penting,” lanjut dia.

Selain lantaran orang tua yang kurang perhatian ke anak, ada faktor lain yakni perundungan yang menimpa anak. Perlakuan buruk di lingkungan sekolah itu, membuat anak mundur dan enggan sekolah.

“Kalau yang bullying kita masih optimistis dia mau kembali ke sekolah, karena akan kita edukasi dengan psikolog,” tambah dia.

Pihaknya akan memastikan anak korban perundungan tidak akan kembali ke sekolah yang lama dan tidak akan mendapat perlakuan buruk di lingkungan barunya.

Kasus lain, yakni pernikahan dini atau hamil hingga membuat anak malu untuk kembali ke sekolah. Dian memastikan jika ada kasus semacam itu, pihaknya memastikan si anak boleh kembali ke sekolah.

“[Ada yang hamil] kita akan beri kesempatan [sekolah] setelah dia melahirkan,” lanjut dia.

Menurut dia, faktor ekonomi tidak melulu menjadi sebab anak putus sekolah atau tidak sekolah. Menurut dia, penyebab awalnya yakni anak tidak diberikan ruang dan perhatian khusus oleh orang tua.

“Tadi disampaikan ya, kalau anak orang dari keluarga mampu ada yang putus sekolah, memang ada, berdasar pengalaman kami menangani anak puluhan tahun, itu karena baterainya merah [polas asuh kurang baik], padahal dia butuh bicara, butuh didengar, butuh berkomunikasi, sedangkan dia tidak ada orang yang bisa diajak bicara,” kata dia.

Dia menyebut Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka sudah menargetkan pada 2024 angka APS dan ATS di Kota Bengawan itu menjadi nol. Menurut dia, identifikasi dan verifikasi data merupakan langkah awal.

“Jadi nanti langkah awalnya kita cari dulu penyakitnya apa [penyebab tidak mau sekolah], kita akan edukasi, kita akan motivasi, dan kita akan turunkan psikolog. Tapi dengan bantuan RT, RW, Kelurahan, dan dalam hal ini PKK,” tambah dia.

Dia menyebut pihaknya meluncurkan program atau gerakan bertajuk Ayo Sekolah Lagi Cah Solo Kudu Pinter (Asli Soloku Pinter) untuk memenuhi target zero APS dan ATS pada 2024.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya