SOLOPOS.COM - Seorang warga berjalan kaki menuju serambi Masjid Darussalam di Kampung Kedunggudel, Kelurahan Kenep, Kecamatan Sukoharjo, Selasa (16/6/2017). (Bony Eko Wicaksono/JIBI/Solopos)

Masjid Darussalam di Kenep, Sukoharjo, memiliki sejarah panjang dan keunikan pada kubahnya.

Solopos.com, SUKOHARJO — Kaligrafi bertuliskan Allah berukuran besar terpasang di tembok bangunan. Kaligrafi terbuat dari perak itu memantulkan sinar matahari.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Bangunan itu dikelilingi pagar kayu warna hijau yang berfungsi sebagai pembatas atau pengaman. Terdapat 16 tiang pancang dari kayu jati yang menyangga bangunan agar tetap kokoh dan kuat.

Bangunan itu merupakan Masjid Darussalam di Kampung Kedunggudel, Kelurahan Kenep, Kecamatan Sukoharjo. Masjid itu salah satu masjid tertua di Nusantara yang dibangun pada abad ke-14. Kala itu, Masjid Darussalam menjadi pusat peradaban dan penyebaran agama Islam di Jawa.

Para alim ulama menyebarkan ajaran Islam melalui jalur Sungai Bengawan Solo yang menghubungkan wilayah Solo hingga Gresik, Jawa Timur. “Saat itu, para alim ulama membangun masjid dan pondok pesantren untuk menyebarkan ajaran Islam. Mereka juga membangun pasar sebagai pusat aktivitas perekonomian di sepanjang sungai,” kata seorang pengurus takmir Masjid Darussalam, Sehono, saat ditemui Solopos.com, Selasa (6/6/2017).

Saat penjajahan Kolonial Belanda, Raja Keraton Solo Paku Buwono (PB) VI kerap melakukan pertemuan dengan Pangeran Diponegoro secara sembunyi-sembunyi di masjid tersebut. Mereka membahas strategi perang melawan Belanda.

Tentara Belanda akhirnya mencium konspirasi itu dan membumihanguskan wilayah Kedunggudel. Tentara Belanda membombardir wilayah Kedunggudel dengan menembakkan meriam.

“Masjid dibombardir tembakan meriam namun tidak hancur. Hanya bangunan bagian depan yang hancur. Ini mukjizat Allah,” terang dia.

Saat pemerintahan PB VIII, para alim ulama dan warga setempat meresmikan renovasi masjid pada 1837. Peresmian masjid menjadi momentum kebangkitan umat Islam setelah berakhirnya Perang Diponegoro. Hingga kini, bangunan masjid masih kokoh dan kuat kendati berusia tua.

Menariknya, mustaka atau kepala masjid bukan berbentuk kubah melainkan bunga wijaya kusuma. “Bunga wijaya kusuma merupakan pusaka Bathara Kresna. Wijaya bermakna kemenangan sementara Kusuma berarti bunga. Filosofinya yakni bunga kemenangan terhadap lawan dan diri sendiri melawan nafsu duniawi,” papar dia.

Sementara itu, seorang tokoh pemuda di Kelurahan Kenep, Sasongko, menyebutkan Kampung Kedunggudel memiliki bangunan sejarah yang berhubungan erat dengan penyebaran ajaran Islam di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Selain itu, terdapat potensi keanekaragaman produk unggulan yang tak dimiliki daerah lain di Sukoharjo.

Selain jenang dan wingko, ada pula pengrajin rambak, karak, jamu, serta batik tulis. Produk batik tulis mempunyai keunikan dan lebih berkualitas dibanding produk serupa di daerah lainnya.

Warisan nenek moyang itu harus dijaga dan dilestarikan agar Kenep benar-benar menjadi desa wisata di Kabupaten Jamu. “Kelurahan Kenep kerap menjadi lokasi outing class para pelajar yang ingin belajar mengenai budaya dan sejarah. Kami ingin mengoptimalkan potensi produk unggulan dan sisi historis pada masa mendatang,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya