Soloraya
Senin, 26 Maret 2018 - 04:35 WIB

Masuk Hutan Produksi, Perhutani Larang Masyarakat Lakukan Ini di Bukit Bendo Klaten

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi hutan (JIBI/Dok)

Masyarakat dilarang melakukan sejumlah hal ini di Bukit Bendo Klaten lantaran masuk hutan produksi.

Solopos.com, KLATEN — Perum Perhutani melarang masyarakat melakukan sejumlah hal di Bukit Bendo, Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Klaten, yang berstatus hutan produksi. Hutan itu diperbolehkan dimanfaatkan untuk kegiatan wisata namun dilarang mengubah bentangan.

Advertisement

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Perum Perhutani Solo, Eka Muhamad Ruskanda, mengatakan aktivitas mengubah bentangan atau mengambil tanah di hutan produksi melanggar UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Sejumlah kegiatan yang dilarang di antaranya bikin kolam renang, tambak, hingga mengambil tanah atau menambang.

Tindakan-tindakan itu bisa memicu tanah longsor, erosi, dan lainnya. “Nanti kalau ada apa-apa kami yang kena tanggung jawab,” kata dia saat ditemui Solopos.com di Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Klaten, Sabtu (24/3/2018).

Ia menjelaskan hutan itu bisa dimanfaatkan warga misalnya untuk pariwisata. Namun, untuk pengambilan tanah dilarang. Kecuali hutan itu memang masuk ke dalam zona pertambangan.

Advertisement

“Ada hutan yang bisa ditambang seperti misalnya hutan Perhutani di Tuban itu ditambang sebagai bahan baku semen. Tapi izin yang mengeluarkan Kementerian LHK [Lingkungan Hidup dan Kehutanan],” terang Eka.

Terpisah, Sekretaris Desa Melikan, Sukanta, menilai kendati berstatus hutan produksi, hutan itu terlihat tidak produktif. Aktivitas petani mengelola lahan hanya terlihat sekitar 13-14 tahun lalu.

“Kalau dalam sepuluh tahun terakhir ini di hutan itu enggak ada aktivitas apa pun. Kami berharap bisa diberi izin untuk mengambil tanah di sana,” kata dia saat dihubungi Solopos.com, Minggu (25/3/2018).

Advertisement

Ia mengaku keberadaan Bukit Bendo untuk bahan baku gerabah sangat penting. Hal ini menyangkut keberlangsungan hidup sekitar 400 keluarga pengrajin gerabah di Desa Melikan dan Desa Paseban.

“Kami mungkin akan lebih intens berdialog dengan pemerintah kecamatan, Bupati, termasuk Perhutani untuk membahas hal ini. Jika memang aturan yang melarang, tak ada salahnya aturan itu diubah untuk mengedepankan kemakmuran rakyat,” beber dia.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif