SOLOPOS.COM - Puluhan orang menonton film pendek berjudul Payung Dara yang diproduksi oleh Kembang Gula di Dalem Joyokusuman, Selasa (4/7/2023) malam. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Malam untungnya terang ketika pemutaran film pendek berjudul Payung Dara itu dipertontonkan di ruang terbuka Dalem Joyokusuman, Selasa (4/7/2023). Ini merupakan pemutaran terbatas pada rangkaian acara pasar buku Patjarmerah.

Misi edukasi seksual dihadirkan dalam film yang diproduksi oleh Kembang Gula, satu komunitas sekaligus production house (PH) nirlaba yang menghimpun para pegiat film di Solo. Edukasi seksual yang diangkat berupa bagaimana anak menyikapi perubahan tubuhnya saat memasuki masa puber.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Film Payung Dara menceritakan tokoh utama bernama Dara yang berusia 13 tahun. Dia mengalami masa pubertas ditandai dengan payudaranya yang mulai tumbuh. Seiring dengan itu, dia merasa gelisah karena tidak ada sosok yang menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap.

Meskipun dia tinggal bersama orang yang lebih dewasa, yakni paman dan neneknya, keduanya tidak bisa memberikan pemahaman kepada Dara. Akhirnya, dia malah mencari sendiri tentang apa yang terjadi pada tubuhnya itu.

Sayangnya dia malah diberitahu oleh orang di luar keluarganya, seperti penjual majalah, pedagang di pasar, dan teman yang sama-sama tidak tahu. Hal itu malah membuat dar semakin resah dan kikuk.

Sutradara Film Payung Dara, Reni Apriliana menganggap isu mengenai pubertas pada anak jarang sekali dibahas di ruang publik. Terlebih, menurutnya anggapan tabu untuk membicarakan isu tersebut, membuat banyak anak kesulitan menyikapi masa-masa puber itu. Kemungkinan terburuknya mereka menjadi frustrasi.

“Isu ini penting diangkat karena aku menjadi teringat ketika remaja ada pertanyaan yang cukup besar ya. Itu soal edukasi seksual, terutama tentang puber,” kata dia ketika berbincang dengan Solopos.com di Dalem Joyokusuman Solo, Selasa malam.

Menurut dia, banyak remaja melewati fase pubertas begitu saja dengan pengetahuan yang minim. Dia mencontohkan misalnya soal perubahan bentuk badan dan menstruasi pertama.

“Kita kebanyakan waktu remaja itu terlewati begitu saja tanpa tahu sebenarnya apa itu payudara, apa itu pengalaman menstruasi. Fase itu penting untuk dibicarakan,”  kata dia.

Meski begitu, film Payung Dara tidak hanya ditujukan untuk segmen remaja putri. Lebih jauh lagi film itu juga menyasar orang dewasa, termasuk orang tua yang memiliki anak di usia-usia puber. 

“Orang dewasa agar mereka peduli kepada remaja yang puber untuk diedukasi, persoalan kaya gini kan mereka harus tau juga,” lanjut dia.

Reni menyebut film ini berangkat dari pengalaman pribadi waktu masih duduk di bangku SMP. Dia dihadapkan masalah ketika dirinya menginjak masa puber. Terutama ketika terdapat bagian tubuh yang berubah dan menonjol.

“Ini kan berangkat pengalamanku personal ya, ketika aku dulu SMP juga ada yang seperti itu. Kebetulan saya kecil tinggal di satu pemukiman yang padat penduduk,” kata dia ketika berbincang dengan Solopos.com, Selasa.

Latar belakang Reni yang dekat dengan warga dari kelas menengah ke bawah itu mempengaruhinya dalam memilih latar tempat dalam film. Dia sengaja membuat tokoh utama, Dara hidup di keluarga biasa saja.

“Saya merasa di kalangan masyarakat kelas menengah bawah itu banyak ditemui, kalau orang tuanya tidak paham mengenai masa puber seperti ini. Menurut saya itu bisa jadi riskan,” lanjut dia.

Produser film Payung Dara, Fanny Chotimah mengatakan film ini memang secara khusus membicarakan persoalan remaja putri. Meski begitu segmen penonton yang dituju ingin lebih luas dari itu.

“Film ini ditujukan untuk remaja putri karena membicarakan payudara yang tumbuh. Ini supaya enggak tabu lagi ketika membicarakan kesehatan reproduksi,” kata dia.

Terlebih ketika remaja memasuki fase pubertas seharusnya dibicarakan dan didiskusikan dengan orang tau. Agar remaja yang nanggung itu, bisa mengerti bagian tubuh mana yang boleh dilihat orang, mana yang tidak. “Biar tidak salah dan terjerumus macem-macem,” lanjut Fanny.

Dia menyebut dalam pengembangan cerita yang lumayan sensitif itu, pihaknya melibatkan Pusat Kajian Perempuan Solo (Pukaps). Pengembangan cerita dilakukan dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD).

“Kita mengundang sepel target penonton, baik itu orang tua, mahasiswa, terus remaja, pelajar, dan guru. Karena ini isu membicarakan soal kesehatan reproduksi remaja putri, soal Dara yang payudaranya tumbuh,” kata dia.

FGD itu terutama membahas detail adegan per adegan. Tujuannya mempertimbangkan apakah skenario yang ditulis itu cukup vulgar. Termasuk membahas apakah adegan yang dimainkan menyinggung korban kekerasan seksual. “Setelah FGD selesai, kita baru proses script-nya,” kata dia.

Dengan proses produksi yang serius itu, Fanny berharap film pendek itu bakal berdampak baik. Meski dia mengakui tidak bisa berdampak besar dan masif kepada publik, namun dia meyakini secara tidak langsung bakal menumbuhkan kesadaran akan isu pubertas.

“Setidaknya pelan-pelan, dari remaja yang nonton mulai percaya diri dan mulai punya kesadaran diri atas tubuhnya, itu yang paling penting” kata dia

Dia mengatakan tidak mudah mengemas film dengan isu yang cukup senstif dan berat agar mudah diterima oleh penonton muda. Terlebih kesan tabu pada topik seksualitas dan pubertas masih ada di masyarakat. “Memang sulit, tapi harus dimulai, kita coba aja,” lanjut dia.



Meski tabu, dia ingin pelan-palan isu seksualitas dan fase puber remaja bisa dibicarakan di meja makan keluarga. Dengan begitu edukasi seksual bakal berjalan di level paling bawah, yakni keluarga. “Jangan lagi dibuat tabu,” lanjut dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya