SOLOPOS.COM - Pemain barongsai melakukan latihan harian yang digelar di Litang Gerbang Kebajikan, Jebres, Solo, Rabu (24/1/2024). Tim Barongsai Tripusaka Solo melakukan latihan yang digelar setiap hari dengan diikuti puluhan anggota tersebut guna untuk mempersiapkan fisik dan gerakan atraksi barongsai untuk mengikuti perayaan Grebeg Sudiro 2024 yang berlangsung pada 4 Februari 2024 di kawasan Pasar Gede Solo. (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Solopos.com, SOLO—Kelompok Barongsai Tripusaka Solo merupakan salah satu kelompok yang mendapat berkah setelah kekuasaan pemerintahan Orde Baru (Orba) jatuh pada 1998. 

Pasalnya selama tiga dekade Presiden Soeharto berkuasa ruang ekspresi bagi warga keturunan Tionghoa di Indonesia sangat terbatas.  Mereka dilarang melaksanakan tradisi dan adat istiadat mereka secara terbuka. Larangan itu bahkan tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967. 

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Isi Inpres itu membuat agar keturunan Tionghoa merayakan hari besar keagamaan atau adat secara tertutup di lingkungan keluarga dan tidak boleh dilakukan secara terbuka di tempat umum.

Setahun setelahnya, pada 1999, kelompok Barongsai Tripusaka Solo kemudian dibentuk. Terbentuknya kelompok Barongsai yang identik dengan kebudayaan Tionghoa itu sejalan dengan jatuhnya kekuasaan Keluarga Cendana dan semangat kebebasan yang dibawa oleh agenda Reformasi 1998.

Apalagi Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Keppres itu semakin membuat kebudayaan yang identik dengan etnis Tionghoa muncul. 

Koordinator Tripusaka, Agung Junianto, mengatakan kelompok kesenian Barongsai tertua di Solo itu memang terbentuk setelah Gus Dur mengizinkan perayaan keagamaan dan adat Tionghoa dirayakan secara terbuka.

Agung adalah anggota pertama yang bergabung. Ketika itu dirinya masih duduk di bangku SMP. Dirinya mengaku penasaran dengan kesenian Barongsai yang selalu mempertontonkan atraksi memukau. Awalnya dia terlebih dahulu belajar seni bela diri Wushu.

“Dari Wushu kok tertarik dengan Barongsai, ya sudah akhirnya ikut, bisa tambah pengalaman,” kata dia ketika ditemui di SD Warga Solo, belum lama ini.

Dia mengatakan lama proses belajar Barongsai tergantung pada masing-masing personal. Jika cepat tanggap akan lebih mudah dan lebih cepat menguasai teknik-teknik yang diperlukan.

Agung bercerita sekarang belajar Barongsai lebih mudah, pasalnya tidak seperti waktu dulu yang mengharuskan belajar gerakan dan teknik Wushu terlebih dahulu sebelum.

Tujuannya agar orang yang ingin belajar Barongsai memiliki fisik dan kuda-kuda yang kuat. Hal ini masuk akal lantaran kesenian Barongsai tidak jarang mengharuskan pelakunya memainkan atraksi yang berbahaya dan membutuhkan stamina ekstra.

“Kalau sekarang tidak, kalau kita terapkan seperti itu, kita akan kehabisan orang, paling Wushu hanya dasar dan kuda-kuda,” kata dia.

Dia mengatakan para pemain Barongsai di Tripusaka tidak menjadikan kesenian ini sebagai pekerjaan utama. Meski bukan sebagai pekerjaan utama, dia mengatakan dalam kesenian Barongsai mengharuskan pemainnya memiliki sifat tekun.

“Karena kalau ada lomba atau ada event latihan bisa sampai setiap hari dan sampai malam.” kata dia.

Saat ini, Agung menjelaskan anggota Tripusaka sudah mencapai ratusan orang mulai dari usia SMP sampai usia kerja. Pada mulanya keanggotaan Tripusaka banyak yang berasal dari etnis keturunan Tionghoa. Namun, uniknya, seiring waktu, semakin ke sini mayoritas anggota Tripusaka berasal dari etnis Jawa. 

Menurut dia, ini semakin mempertegas bahwa kesenian Barongsai bukan lagi hanya milik satu etnis, dan tidak hanya identik dengan kebudayaan Tionghoa semata, namun juga milik semua etnis dan golongan. “Kita tidak membatasi yang ikut harus keturunan Tionghoa atau beragama Konghucu. Kita bebas,” kata dia. 

Dia mempertegas pihaknya tidak pernah membedakan suku, ras, dan agama. Dia mengatakan anggota Tripusaka juga banyak yang muslim. Sebelum latihan, anggota yang muslim diberikan kesempatan untuk melakukan ibadah salat. 

“Lalu kalau ingin berangkat [mengisi acara atau event] selalu sembahyang [berdoa]. Tapi tidak mengharuskan sembahyang pakai adat Konghucu. Kita sembahyang pakai kepercayaan masing-masing,” kata dia.

Keberadaan kelompok Tripusaka seakan mempertegas bahwa kesenian Barongsai merupakan simbol keakraban etnis Jawa dan etnis keturunan Tionghoa di Kota Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya