Soloraya
Rabu, 20 Desember 2023 - 09:36 WIB

Mencari Ciri Khas Animasi Indonesia Lewat Budaya Sehari-hari

Dhima Wahyu Sejati  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Para animator nampak sibuk mengerjakan proyek di Studio Manimonki, Purwosari, Laweyan Solo, Rabu (20/12/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO — Sekilas rumah yang terletak di Jl. Satrio Wibowo Sel. No.39A, Purwosari, Kecamatan Laweyan, Kota Solo itu seperti rumah pada umumnya. Terletak di perumahan, dari luar tidak ada aktivitas menonjol. Tidak ada plakat apapun. Hanya saja di depan rumah banyak kendaraan motor terparkir rapi.

Ternyata motor-motor itu milik para animator yang bekerja di Manimonki, salah studio animasi yang ada di Kota Solo. Studio itu masih sedikit berantakan lantaran proses renovasi. Namun karyawan sedari pagi, sekitar jam 09.00 WIB sudah menghadap komputer, mengerjakan proses pembuatan animasi sesuai divisi kerja masing-masing.

Advertisement

Studio itu hadir di Solo berkat Yudhatama yang merintis Manimonki pada 2016 lalu, dan efektif berjalan pada 2019. Pria yang sudah terjun di industri animasi sejak 1999 itu kini sudah memiliki sekitar 40 karyawan. Tidak semua karyawan asal Solo, namun mayoritas dia memfasilitasi animator-animator dari Solo.

Manimonki sebelumnya sempat berdiri di Jakarta pada 2011. Yudha yang lahir di Solo ingin segera pulang kampung. Dia kemudian juga membawa pulang studio Manimonki ke kampung halamannya. Di Kota Bengawan itu, Yudha menunjukkan keseriusannya berkarya.

Dongeng Anak

“Saya berfikir, saya ingin sesuatu yang lebih bercerita, jadi bikin animasi seperti serial atau film yang memang bener-bener animasi,” kata dia ketika ditemui Solopos.com di studionya, Rabu (20/12/2023).

Advertisement

Studio Manimonki sudah mengerjakan banyak serial animasi dari dalam dan luar negeri. Misalnya, dia memproduksi serial animasi untuk anak berjudul Relief Jataka. Serial itu mengemas dongeng anak yang terinspirasi dari relief candi. Yudha mengatakan dari cerita sampai proses produksi dikerjakan oleh Studio Manimonki.

Serial yang menyerap nilai-nilai budi pekerti itu sudah tayang di Indonesiana.TV dua episode, masing-masing berjudul Kisah Bharada dan Rusa Sarabha. Karakter pun mengambil anak usia TK dengan dialog yang sederhana. Memang secara khusus, serial itu ditujukan untuk anak-anak.
Kehadiran studio animasi di Kota Solo, sebetulnya menjadi gambaran bahwa industri animasi sedang beranjak berkembang.

Dewan Penasehat Asosiasi Industri Animasi Indonesia (Ainaki), Chandra Endroputro menyebut perkembangan ini sudah sejak enam sampai tujuh tahun lalu. Ini terbukti dengan menjamurnya studio animasi yang tidak saja di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, namun juga kota lain di dalam maupun luar Jawa.

Chandra menyebut saat ini sudah ada 40 studio yang aktif memproduksi film maupun serial animasi di Indonesia. Beberapa di antaranya ada di Kota Solo. Jumlah itu sudah cukup banyak jika dibandingkan dengan perkembangan awal industri animasi di Indonesia pada beberapa dekade lalu. Pria yang sudah mencicipi dunia animasi sejak era 90-an itu menyebut perkembangan industri animasi sudah mulai terasa sejak 2008.

Advertisement

“Sekarang di 2023 kita punya 40 studio animasi yang aktif berproduksi, boleh dibilang sangat sibuk,” kata dia ketika berbincang dengan Solopos.com, melalui sambungan telepon, Senin (18/12/2023).

Chandra menjelaskan kebanyakan proyek berasal dari luar negeri berupa pesanan pekerjaan secara komersial. Dalam proyek komersial, biasanya para kreator Indonesia sudah menerima konsep utuhnya dan tinggal merealisasikan.

Namun studio animasi di Indonesia juga sering mengerjakan proyek kreatif. Pada proyek kreatif, para kreator membuat konsep, alur cerita, karakter, sampai proses produksi secara mandiri.

Karakter Pakem

Dalam proses kreatif pembuatan animasi itu muncul ciri khas yang membedakan dengan dengan negara-negara lain. Menurutnya satu ciri khas yang menonjol dari animasi Indonesia yakni menceritakan budaya sehari-hari. “Karena kejadian sehari-hari sangat lokal sekali, pengalaman mereka [karakter animasi] berinteraksi dengan temannya, berinteraksi terhadap problem yang muncul. Termasuk bahasa, logat, bentuk bangunan, setting, terus nilai-nilai yang muncul, ciri itu akan menjadi pembeda dengan anime dari Anime [Jepang], Pixar, sampai Disney,” kata dia.

Advertisement

Chandra menyebut memang serca visual, animasi Indonesia belum memiliki pakem. Tidak seperti Jepang dengan ciri khas karakter 2D, atau Pixar dan Disney dengan karakter 3D. Menurutnya guna membentuk ciri visual seperti itu, perlu waktu. Sebab karakter visual itu bakal terbentuk melalui proses kreatif masing-masing kreator dalam waktu yang panjang.

“Nah Indonesia mungkin belum ketemu ya, tapi kalau kita nonton serial atau film animasi punya kita, akan terasa sekali ke-Indonesia-an lewat budaya sehari-hari yang ditampilkan,” kata dia.

“Ciri khas itu adanya [mengalir] di darahnya, karena penulis dari Indonesia maka otomatis akan mengeluarkan rasa-rasa ke-Indonesiaan dalam cerita, sutradara juga begitu. Tanpa disadari penulis cerita itu menggunakan referensi berdasar pengalaman dia,” katanya.

Justru ciri animasi Indonesia tergambar lewat representasi budaya sehari-hari itu. Salah satunya adalah serial animasi berjudul Ako dan Laut yang tayang di Indonesiana.TV. Pada serial itu diceritakan karakter Ako yang lahir di Jakarta, kemudian pulang ke kampung ayahnya, yakni Maluku.

Advertisement

Guna menghadirkan relevansi dan menghubungkan anak-anak Indonesia timur dan barat, karakter Ako sengaja dibuat berlatar Jakarta dan pindah ke Maluku.
Penggambaran Maluku kental kehidupan orang-orang pesisir yang dekat dengan laut. Ako dan Laut sudah diproduksi sejak 2021 dan terus berlanjut setiap tahun.

“Serial itu dibuat untuk memperkenalkan anak-anak indonesia kepada dunia bahari. Anak-anak harus paham bahwa laut sebenarnya bukan pembatas tapi penghubung, bahwa laut itu halaman rumah kita. Supaya anak-anak tidak memunggungi laut, tapi justru bermain dengan laut,” kata Chandra, yang juga Produser Kreatif Indonesiana.TV.

Ako dan Laut secara khusus juga menampilkan latar Indonesia Timur lantaran mereka lebih dekat dengan kehidupan laut. Letak geografis Maluku yang merupakan wilayah kepulauan yang terbentang dari Papua Barat sampai Nusa Tenggara Timur itu dihubungkan oleh laut. “Kedua juga kita mau mengangkat Indonesia Timur karena mungkin anak-anak sedikit yang tahu. Karena tahunya kota besar di Jawa, paling jauh di Sumatera. Kita coba memperkenalkan teman-teman kita di Indonesia Timur,” kata dia.

Animasi khas Indonesia juga tergambar melalui Rana Uko. Film yang disutradarai Daryl Wilson dan diproduseri Nadya Choudori dari Temotion itu mengangkat cagar budaya Muarajambi.

Kawasan Cagar Budaya Muarajambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Pada kawasan tersebut terdapat kompleks percandian, situs pemukiman kuno, dan sistem jaringan perairan masa lalu. Diperkirakan kawasan candi itu merupakan yang terluas di Asia Tenggara.

Nadya Choudori menyebut cerita Rana Uko diambil berdasar kehidupan sehari-hari orang Jambi. Yang paling ketara adalah percakapan antar karakter yang memakai seloka atau saling balas pantun. “Itu hasil dari kita riset dan ngobrol sama datuk yang ada di Jambi,” kata dia.

Advertisement

Percakapan Otentik

Judul animasi juga diambil dari bahasa Jambi, Rana artinya tanah, dan Uko artinya saya. Bahasa Jambi juga digunakan dalam animasi tersebut. Dialog bahasa Jambi masa lampau tergambar lewat karakter Sactya dan dialek bahasa Jambi masa kini dihadirkan lewat karakter Tria. “Kita ada subtitle untuk bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,” kata dia.

Pengisi suara pun dikerjakan oleh dubber asli Jambi. Nadya menjelaskan itu untuk memenuhi kebutuhan teknis lantaran logat bahasa Jambi punya ciri khas. Pihaknya ingin menghadirkan percakapan yang otentik untuk mempertebal karakter di Rana Uko.

Rana Uko berlatar waktu 3000 SM dan bercerita tentang seorang bayi laki-laki yang memiliki kekuatan magis terhanyut di aliran sungai. Bayi itu ditemukan para Datuk dan diberi nama Sactya.

Rana Uko juga berlatar waktu masa depan pada 2045 dan menggambarkan kehidupan kota Muarojambi yang sudah semakin modern dengan teknologi tinggi. Di tahun itu hidup seorang arkeolog bernama Bakti yang masih terus melakukan penelitian tentang candi. Bakti memiliki seorang anak perempuan bernama Tria.

Lalu suatu saat Tria mengikuti ayahnya ke area pemugaran candi dan dia menemukan batu pusaka, dan saat Tria menyentuhnya, dia terseret ke dimensi ruang dan waktu. Tria masuk ke masa Muarojambi 3000 SM dimana Sactya berada. Sebaliknya, Sactya dari tahun 3000 SM tertarik masuk ke zaman Muarojambi modern bertukar tempat dengan Tria.

Nadya mengatakan saat ini Rana Uko baru ditampilkan pada acara screening atau pemutaran terbatas. Terakhir acara nonton bareng di Jambi. Dia mengatakan animasi karya kreator Indonesia itu masih dalam proses produksi lebih lanjut. Studio Manimonki di Solo juga terlibat langsung dalam proses produksi.

“Kemarin kami baru screening, jadi kita ada part 1 dan 2. Jadi nanti penayangan di Indonesiana.TV ketika part 2 selesai, mungkin masih di pertengahan tahun depan,” kata dia.

Kisah Bharada, Rusa Sarabha, Ako dan Laut, dan Rana Uko, adalah industri yang punya potensi. Kehadiran mereka di Indonesiana.TV menjadi ruang bagi berkembangnya industri film animasi dan menjadi alternatif tontontan yang menarik bagi masyarakat khususnya anak-anak.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif