Soloraya
Sabtu, 3 September 2022 - 19:32 WIB

Menelisik Budaya Mendem & Kuliner Daging Anjing di Solo dari Kacamata Sejarah

Kurniawan  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi spanduk kuliner sate jamu di Soloraya. (Youtube)

Solopos.com, SOLO — Ada banyak hal menarik dan unik jika kita membicarakan Kota Solo. Salah duanya adalah tentang kuliner daging anjing dan budaya mendem warganya Kota Bengawan.

Di Kota Solo bisa cukup banyak warung yang menyajikan menu olahan daging anjing. Lokasinya menyebar di berbagai wilayah. Tidak susah untuk menemukan warung yang oleh sebagian warga disebut dengan istilah “warung sate jamu” itu. Bahkan beberapa penggemar kuliner daging anjing punya warung favorit masing-masing.

Advertisement

Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Jogja, Heri Priyatmoko, menyebut ada puluhan warung sate jamu di Solo. Warung-warung itu ada yang buka pagi, sore, dan malam hari, dengan aneka hasil olahan daging anjing. Seperti satai, tongseng, rica-rica, grabyasan atau goreng, dan yang dikombinasikan dengan menu nasi goreng.

Penulis buku Sejarah Wisata Kuliner Solo itu menyebut tak sedikit yang menyukai rica-rica, walau berbahan tulang belulang dan sedikit daging yang menempel. Sajian bumbu pedas dan hangat disukai konsumen.

Advertisement

Penulis buku Sejarah Wisata Kuliner Solo itu menyebut tak sedikit yang menyukai rica-rica, walau berbahan tulang belulang dan sedikit daging yang menempel. Sajian bumbu pedas dan hangat disukai konsumen.

Sementara untuk menu grabyasan dikemas dalam bungkusan kecil-kecil yang berisi beberapa potong daging goreng berukuran mungil. Hingga akhir 1980 an masih ditemui pedagang keliling di kampung menawarkan grabyasan.

Baca Juga: Senja Kala Rica Gukguk di Kota Bengawan

Advertisement

Merujuk sejarawan Anthony Reid (2011), anjing di Asia Tenggara menjadi santapan warga karena dimaknai binatang tidak bertuan.

Ihwal bertahan lamanya kuliner daging anjing, menurut Heri, tidak lepas dari masih adanya konsumen yang mencarinya. “Dan regenerasi berjalan laiknya bakul sate jamu menurunkan seni olah-olah ke anak dan cucunya,” ujar dia, Sabtu (3/9/2022).

Eksis Karena Kaum Abangan

Kuliner daging anjing terus bertahan hingga saat ini berkat masih eksisnya kaum abangan. Selain itu juga karena faktor suburnya budaya mabuk-mabukan alias mendem warga yang biasa dipadukan dengan trambul atau juga santapan ringan.

Advertisement

Baca Juga: Ramai Desakan Larangan Daging Anjing, Omzet Warung Sate Gukguk di Solo Turun

Trambul ini biasanya berupa olahan daging atau tulang anjing. Ihwal tradisi mabuk yang mewabah di Solo disebutkan jurnalis Bromartani pada 25 Agustus 1881. Di tulisan itu menyebutkan Solo adalah lahan basah bisnis arak.

Tiga dekade berikutnya, wartawan Darmo Kondo melaporkan temuannya tentang arak gelap. Diceritakan, polisi Jokowesti menangkap dua wanita membawa arak gelap di Coyudan. Mereka lalu digelandang polisi.

Advertisement

“Budaya omben-omben atau mabuk minuman keras merebak di Solo berpuluh-puluh tahun. Pendukungnya tidak sedikit. Sehinga melahirkan terminologi lokal yang tak ditemukan di daerah lain, ndem-ndeman,” kata dia. Istilah itu ternyata tercatat di Bromartani edisi 28 Juni 1883.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif