SOLOPOS.COM - Pementasan Menjelang Hujan Darah di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Selasa (21/11/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO — “Aku Gandari, ibu para kesatria yang mati. Jiwaku membara di bawah langit para dewa.”

Gandari pelan-pelan bersingkuh dan meratap. Lelah dan sedih terpancar dari mukanya yang menahan rasa sakit akibat kematian 100 anaknya dalam Perang Baratayuda.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Ini adalah cerita tentang Gandari, ibu dari 100 putra yang dikenal sebagai Kurawa dan seorang putri bernama Dursilawati. Semua anaknya meninggal dunia setelah Perang Bharatayuda melawan Pandawa yang hanya berlangsung selama 18 hari.

Cerita emosional ini berjudul Menjelang Hujan Darah dan menjadi pemaknaan bebas dari kisah wayang Mahabharata yang dibalut dengan unsur-unsur teater, tari, dan musik. Menjelang Hujan Darah dipentaskan di Pendapa Ageng Taman Budaya Jawa Tengah, Selasa (21/11/2023).

Gandari diperankan oleh tujuh penari perempuan yang mengenakan kostum kemben abu-abu dan putih, bersanggul dengan selendang berwarna kuning terikat di pinggang mereka.

Adegan dimulai dengan suara jatuhnya satu bola pingpong merah di panggung disusul beberapa bola pingpong dan secara konsisten jumlah mereka semakin bertambah. Ketujuh penari secara bergantian bermonolog menceritakan kisah Gandari, terutama tentang bagaimana kisahnya seharusnya dimulai dengan bunga hari pernikahan, tetapi justru kini kisahnya dimulai dengan darah.

Narasi monolog Gandari begitu subtil, tetapi menghujam jantung penonton, seakan-akan kesedihan yang dirasakan Gandari juga menjadi kesedihan para penonton. Gandari memang hanya bermonolog, tetapi dia mengajak berbicara para penonton.

Tari yang ditampilkan oleh ketujuh penari perempuan tersebut merupakan tari kreasi kontemporer diiringi musik akustik oleh tim komposer yang dipimpin oleh Yeni Criwil. Dia menggunakan musik-musik bernada elegi dan electone untuk mendukung suasana kesedihan yang dirasakan Gandari.

Selain menampilkan tujuh penari, ada dua aktor yang ikut menari dalam lantunan kesedihan Gandari, yaitu Agus Prasetyo dan Anggono Kusumo Wibowo. Formasi sembilan penari tersebut seperti menggambarkan kumpulan emosi Gandari, dengan Agus hadir sebagai simbol keputusasaan sementara Anggono atau Aang menjadi bentuk angkara.

Hal ini terlihat dari gerakan tari keduanya yang bebas dan tidak serupa. Agus menari terpatah-patah dengan ekspresi putus asa, sementara Aang menari penuh emosi dengan gerakan cepat. Namun gerakannya masih dengan cepat disusul oleh ketujuh penari perempuan yang akhirnya membelenggunya.

Adegan berlanjut, Gandari kembali melanjutkan ceritanya tentang anak perempuannya, Dursilawati, yang justru menjadi alat politik Sengkuni.

Gandari bercerita, Dursilawati digunakan Sengkuni untuk menggoda Jayabrata agar menjadi sekutu Kurawa guna menuntaskan dendamnya kepada Pandawa. Jayabrata sendiri merupakan tokoh wayang yang datang ke Kerajaan Astina untuk berguru ilmu pemerintahan kepada Pandu, ayah Pandawa.

Dalam Perang Bharatayuda, Dursilawati meninggal dunia karena nyawanya dicabut Batara Kala sebagai tumbal atas kemenangan pihak Kurawa, khususnya Jayabrata.

Dari 100 putra Gandari, Duryudana adalah putra yang terakhir meninggal. Putra sulung Gandari tersebut meninggal setelah duel melawan Bima, dan kematiannya menyebabkan Perang Bharatayuda berakhir.

“Aku Duryudana anak Gandari
Apakah aku bersalah bila ingin melihat ibuku bahagia?
Aku terlahir dari angkara
Apakah aku berdosa bila ingin membahagiakan semua keluargaku?
Aku terlahir untuk menjadi kesatria Kurawa
Di medan perang aku menghadapi anak Pandu yang dianggap ibuku musuh.”

Monolog Duryudana disampaikan tanpa wujud dan hanya menjadi lantunan sedih yang melengkapi ratapan ibunya. Selanjutnya masing-masing ketujuh penari menarik kain merah ujung simpul kain merah dengan kedua tangan mereka dan tidak bebas bergerak.

Sembari mereka semakin terkungkung dalam kesedihan tersebut, masing-masing dari mereka menyanyikan ratapan terakhir Gandari:

“Tapi dunia terlalu luas
Dadamu hanya secuil rasa sakit.”

Ratapan tersebut kemudian mengakhiri cerita Menjelang Hujan Darah yang total hanya berlangsung selama 1,5 jam. Saat pementasan selesai, riuh tepuk tangan penonton memenuhi Pendopo Ageng Taman Budaya Jawa Tengah selama kurang lebih satu menit.

Sutradara Menjelang Hujan Darah, Retno Sayekti Lawu, mengatakan konsep yang diusung dalam pementasan kali ini adalah pemaknaan kisah wayang dengan mengambil tokoh sentral Gandari.

“Gandari itu seorang ibu dan ekstrem sekali, sebagai perempuan punya anak 100 dan mereka semua mati hanya dalam waktu 18 hari Perang Bharatayuda. Saya dan mbak Luna Kharisma yang bertugas sebagai Dramaturg kisah ini mulai menggali kisah Gandari, karena kami juga sama-sama perempuan, kami berpikir, kenapa tidak menceritakan perempuan?” tutur Retno saat diwawancara Solopos.com selepas pementasan berakhir.

Retno mengatakan Gandari selalu digambarkan sebagai wanita pendendam, ambisius, dan stigma buruk lainnya. Namun, emosi dan ratapannya tetaplah ratapan seorang ibu yang kehilangan 100 anaknya. Ratapan tersebut sah untuk disampaikan Gandari.

Menurut Retno, keputusan mengambil emosi Gandari sebagai pusat cerita sangatlah tepat karena dalam pewayangan, emosi selalu dikesampingkan dan cerita tersusun dari kejadian antar kejadian.

Dia juga menjelaskan jika cerita dibuat dalam reka kilas balik Gandari mengingat-ingat kematian anak-anaknya sebelum memasuki api unggun bersama Kunti untuk Pati Obong.



Retno melanjutkan pementasan kali ini merupakan upaya mengumpulkan vocabulary atau pengartikulasian gerak, musik, pengucapan teks dan semua aspek yang menyusun karya mereka.

Pementasan Menjelang Hujan Darah diproduksi oleh Congwayndut Official. Produser Menjelang Hujan Darah, Gendut Dalang Berijazah, mengatakan jika pertunjukan tersebut menggabungkan beberapa unsur seni.

“Ada tari, ada musik, ada teater, kami proses bersama-sama dengan sutradara dan teman-teman semua yang berproses bersama. Kami mengambil Gandari karena memang selama ini dia wanita yang dihindari di pewayangan, padahal kesedihannya wajar dan sangat natural,” tutur Gendut sebelum membuka pementasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya