Soloraya
Senin, 15 Mei 2023 - 09:08 WIB

Menengok Banyudono Tempo Dulu dari Cerobong Kuno Dekat Pasar Pengging Boyolali

Nimatul Faizah  /  Ponco Suseno  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kondisi cerobong asap dari bekas pabrik pewarna di Desa Dukuh, Banyudono, Boyolali, Minggu (14/5/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Sebuah cerobong asap masih berdiri tegak di utara Pasar Pengging Boyolali, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali pada Minggu (14/5/2023) sore.

Tak jauh dari cerobong tersebut, ada penjual minuman dingin dan es kelapa muda. Ia sedang berbincang dengan salah seorang laki-laki yang ternyata keamanan di Pasar Pengging, Suyanto.

Advertisement

Solopos.com ikut bergabung, Suyanto menceritakan cerobong asap yang berdiri di sampingnya merupakan bangunan peninggalan Belanda.

“Pipa [cerobong] ini usianya mungkin hampir 400 tahun. Sudah ada sejak zaman Belanda,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com.

Advertisement

“Pipa [cerobong] ini usianya mungkin hampir 400 tahun. Sudah ada sejak zaman Belanda,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com.

Ia mengatakan selain cerobong asap yang ada di Pasar Pengging, ada dua juga cerobong asap lain di sekitar daerah tersebut. Namun, Yanto menceritakan satu cerobong telah hancur lalu satunya lagi tinggal separuh.

“Satu itu tinggal separuh, ada di SDN 2 Jembungan. Satunya lagi sudah hancur, di depan SD itu,” jelas dia.

Advertisement

Selanjutnya, lelaki 62 tahun tersebut menjelaskan bekas pabrik telah menjadi perumahan warga, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain.

“Jadi asal-usul kurang paham. Tapi berdasarkan cerita masyarakat turun-temurun itu memang buatan Belanda,” ujar dia.

Kadus II Dukuh, Agus Priyanto, membenarkan jika memang tidak ada sumber pasti terkait sejarah cerobong tersebut. Namun, berdasarkan cerita mulut ke mulut, cerobong itu bagian dari sebuah pabrik pewarna berskala besar.

Advertisement

“Dari cerita mulut ke mulut memang besar sekali, lebih dari 10.000 meter persegi,” jelasnya.

Terkait siapa yang menghancurkan pabrik besar tersebut, Agus memperkirakan bangunan itu hancur karena bom martil perang zaman peralihan Belanda ke Jepang. Ia memperkirakan bom tak hanya merusak bangunan pabrik, tapi juga benda-benda lain.

“Semisal ditanya kapan berdiri ya susah, enggak ngerti karena hanya dari mulut ke mulut saja, autentiknya susah,” jelas dia.

Advertisement

Pegiat sejarah asal Salatiga, Warin Darsono, mengungkapkan sumber data untuk cerobong asap di pojok Pasar Pengging sangat terbatas.

Ia menjelaskan gedung tersebut bekas cerobong penggodokan pabrik indigo atau pewarna kain. Namun, ia tak bisa memastikan kapan pabrik tersebut dibangun.

“Tapi di abad ke-19, budi daya dan pengolahan indigo sudah banyak diberitakan dan diiklankan di koran-koran. Memang Banyudono pada zaman kolonial juga dikenal sebagai sentra pabrik indigo sebagai pewarna tekstil,” ungkap dia.

Terkait hancurnya bangunan pabrik dan cerobong, Warin mengungkapkan tidak ada sumber pasti yang menerangkan penyebabnya. Namun, ia menduga pada masa great depression pada awal 1930-an berpengaruh besar dalam hancurnya ekonomi dunia termasuk Hindia Belanda.

“Kebanyakan pabrik-pabrik di daerah Ponggok, Karanganom, dan lain-lain juga turut jadi korban politik bumi hangus oleh para pejuang,” jelas dia.

Selanjutnya, Warin melihat dengan cerobong pabrik yang masih tersisa, kemungkinan pabrik pewarna tekstil tersebut bisa dibilang cukup besar dan objek yang dianggap vital.

“Sehingga para pejuang beranggapan harus dibumi hanguskan agar tidak dipakai oleh tentara Belanda,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif