SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak korban kekerasan (Freepik)

Solopos.com, WONOGIRI — Angka kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ke Pemkab Wonogiri sepanjang 2022 mencapai 20 kasus. Angka itu menurun dibandingkan yang terlapor pada 2021 sebanyak 30 kasus.

Kendati terjadi angka penurunan kasus terlapor, hal itu belum bisa dinilai menggembirakan. Sebab angka tersebut sangat dimungkinkan hanya fenomena gunung es kekerasan anak di Wonogiri.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Kepala Bidang (Kabid) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPKB P3A) Wonogiri, Indah Kuswati, mengatakan tren penurunan angka terlapor kasus kekerasan yang melibatkan anak di Wonogiri ini tidak membuat dia bangga.

Indah tidak memandang angka itu secara mentah-mentah. Dia mengingatkan bahwa data tersebut merupakan kasus yang hanya terlapor di Dinas PPKB P3A Wonogiri. Sangat mungkin masih ada kasus-kasus kekerasan anak yang belum diketahui dinas karena korban tidak melaporkan hal tersebut.

“Bisa jadi ini hanya fenomena gunung es. Artinya mungkin masih banyak kasus kekerasan anak yang belum terlapor kepada kami,” kata Indah saat ditemui Solopos.com di Kantor PPKB P3A Wonogiri, Jumat (6/1/2023).

Hal itu bisa terjadi lantaran korban atau keluarga korban enggan melaporkan kasus itu kepada pihak terkait, baik dinas maupun aparat kepolisian yang menangani kasus serupa. Keengganan melapor ini dipengaruhi beberapa hal seperti ketidaktahuan, takut, dan malu.

Selain itu penyelesaian kasus kekerasan anak secara adat juga menjadi hambatan kasus itu tidak terlapor.

Indah menjelaskan korban atau keluarga korban acapkali tidak tahu jika kasus kekerasan anak merupakan pelanggaran hukum. Mereka tidak tahu kasus tersebut dapat dilaporkan kepada aparat atau dinas terkait untuk ditangani.

Tidak jarang pula para korban atau keluarnya justru tak melaporkan kasus itu lantaran takut dipandang negatif oleh warga di lingkungan sekitar.

Di Wonogiri alih-alih korban mendapatkan simpati dan dukungan, tidak jarang warga justru menstigmatisasi korban. Terutama bagi mereka korban kekerasan seksual.

Korban dipandang sebagai orang yang melanggar norma sosial ataupun agama. Akibatnya, korban tidak melaporkan kasus lantaran memandang hal itu sebagai aib bagi dirinya maupun keluarga.

Sebagai informasi, angka kekerasan anak di Wonogiri didominasi kekerasan seksual dibandingkan jenis kekerasan lain.

Pada 2021, sebanyak 25 dari 30 kasus kekerasan anak merupakan kekerasan seksual. Sementara 18 dari 20 kasus kekerasan anak pada 2022 adalah kekerasan seksual.

Yang lebih memprihatinkan, masih ditemukan penyelesaian kasus kekerasan anak dilakukan secara adat atau kultural. Padahal hal itu hampir sama sekali tidak menyelesaikan masalah dan malah merugikan korban. Misalnya penyelesaian kekerasan seksual dengan menikahkan korban dengan pelaku.

“Bahkan pernah anak korban kekerasan seksual hanya diberi kompensasi uang senilai Rp7 juta dan dibayar dengan cara dicicil. Itu dimediasi oleh karang taruna. Kan ini sangat kebangetan,” ujar dia.

Dia menambahkan, korban kekerasan anak di Wonogiri didominasi anak dari keluarga perantau. Orang tua mereka sibuk bekerja di luar kota dan meninggalkan anak di rumah Wonogiri dengan dititipkan kepada kakek-nenek atau kerabat yang memiliki hubungan keluarga.

Korban cenderung tidak mendapatkan pendampingan dan pengawasan dari orang tua selama dalam masa tumbuh kembang. Dengan begitu anak menjadi rentan menjadi korban kekerasan.

Terpisah, Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, tidak mau berspekulasi dengan menganggap kasus kekerasan anak di Wonogiri merupakan fenomena gunung es. Dia menganggap, pada kenyataannya angka kasus kekerasan di Wonogiri cenderung turun setiap tahun sejak ia menjabat.

Angka penurunan kasus itu karena Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri terus menyosialisasikan soal pencegahan dan penanganan kekerasan anak kepada masyarakat.

Dia mengakui banyak korban kekerasan merupakan anak dari keluarga perantau. Mereka tidak mendapatkan pola asuh yang baik sehingga potensi menjadi korban tinggi. Tetapi dia tidak setuju jika korban kekerasan anak linier dengan kemiskinan.

“Faktanya, ada anak yang orang tuanya pegawai tapi menjadi korban. Kalau kekerasan anak salah satunya disebabkan karena kesalahan pola asuh, baru saya setuju,” kata pria yang akrab siapa Jekek itu.

Atas kondisi itu, lanjut dia, Pemkab Wonogiri bekerja sama dengan pemerintah desa dan ketua rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW) untuk menjaga anak-anak dari keluarga perantau. Mereka diberi tugas mendampingi anak-anak tersebut agar tidak terjerumus dan menjadi korban kekerasan.

“Masyarakat kami sudah pintar, sudah tahu soal kekerasan anak ini. Jadi mereka pasti melapor kalau ada hal semacam itu. Maka angka kasus kekerasan di kami cenderung menurun setiap tahun,” ucapnya.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah menunjukkan hal berbeda. Angka kasus kekerasan anak di Wonogiri tercatat meningkat tiga tahun berturut-turut pada 2019-2021. Pada 2019 tercatat sebanyak 18 kasus, 2021 sejumlah 24 kasus, dan 2021 mencapai 41 kasus.



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya