SOLOPOS.COM - Raja Keraton Kasunanan Solo, SISKS Paku Buwono (PB) XIII duduk di kursi roda yang didorong abdi dalem saat akan menyaksikan pentas wayang kulit Sesaji Raja Suya di Kamandungan Keraton Solo, Sabtu (27/8/2022) malam. (Solopos.com/Kurniawan)

Solopos.com, SOLO—Pagelaran wayang kulit semalam suntuk dalam rangka Hajad Dalem Tutup Wulan Sura Tahun Ehe 1956 Keraton Kasunanan Solo pada Sabtu (27/8/2022) malam berlangsung sakral dengan dipakainya wayang pusaka Kanjeng Kiai Kanyut.

Menurut seorang Pengageng Keraton Solo, KP Haryo Adipati Sosro Negoro, wayang itu berusia sangat tua. Pentas sebagai penutup Sura dalam penanggalan Jawa itu dengan lakon Sesaji Raya Suya yang dimainkan oleh KGPH Benawa.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Raja Keraton Solo, SISKS Paku Buwono (PB) XIII dan sang istri, GKR Paku Buwono XIII, ikut menyaksikan secara langsung pentas malam itu. Sebelum pentas dimulai, GKR Paku Buwono XIII menyerahkan wayang Puntadewa ke Benawa.

Ratusan tamu undangan dan masyarakat umum ikut menyaksikan pentas wayang yang dimulai sekira pukul 21.29 WIB itu. Mereka duduk di kursi yang disiapkan, dan di halaman Kamandungan. Mereka tampak serius menyimak alur ceritanya.

“Lakon ini penggambaran dari legitimasi seorang raja besar yang diakui oleh raja-raja di sekelilingya. Biasanya sosok seorang raja itu dilihat dari watak berbudi bawa laksana-nya. Tidak gampang jadi raja yang diakui 100 negara lain,” ujar Sosro Negoro.

Dia menjelaskan saat ada raja yang berusaha mendapat legitimasi dengan mengundang 100 raja lain, malah ada raja lain yang melakukan cara sebaliknya. Raja itu berusaha menaklukkan 100 raja lain dengan menangkap dan memenjarakannya.

Sosok raja itu bernama Jarasanda. “Sudah dapat 97 raja, kurang tiga raja yaitu Prabu Baladewa, Sri Bathara Kresna, dan Raja Amarta. Lalu terjadilah perang dan dimenangkan pihak raja yang baik. Dan 97 raja yang ditangkap dibebaskan,” urai dia.

Karena merasa berutang budi atas kebaikan yang dilakukan, 97 raja yang sebelumnya ditangkap Jarasanda kemudian mengakui Puntadewa sebagai raja. Sosro Negoro mengatakan lakon yang dimainkan mengandung pesan mendalam.

“Secara spiritual bahwa keabsahan raja harus ada pengakuan. Dalam konteks sekarang, baik itu secara agama, paugeran, maupun hukum. Seperti itu penggambaran dari SISKS PB XIII. Diakui raja-raja sekitar, NKRI dan paugeran” terang dia.

Sosro Negoro menyatakan lakon wayang yang dipentaskan saat akhir Sura mencerminkan dari sebuah cerita yang terjadi di Keraton Solo. Penuturan senada disampaikan Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Solo, KP Dani Nur Adiningrat.

Menurut dia, sebuah pementasan wayang kulit di Keraton Solo melambangkan sebuah doa dan harapan. “Dan yang pasti harapan dan doa dari Keraton Solo adalah kebaikan untuk keluarga Keraton, serta bangsa Indonesia,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya