SOLOPOS.COM - Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Yusana Susanti Dadtun, saat menjadi pembicara dalam acara Seminar Nasional Kajian Budaya Seri I dengan tajuk Identitas dalam Komik Mahabhrata dan Identitas Peminum Ciu di Sukarta, Jumat (15/3/2024) yang disiarkan lewat zoom meeting. (Solopos.com/Candra Septian Bantara)

Solopos.com, SOLO–Bagi warga Solo pasti tidak asing dengan ciu. Minuman beralkohol tradisonal yang berasal dari Kecamatan Bekonang, Sukoharjo itu bisa dikatan sudah menjadi identitas atau bahkan budaya yang tidak bisa dipisahkan dari warga Solo khususnya bagi penikmatnya.

Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Yusana Susanti Dadtun, dalam acara Seminar Nasional Kajian Budaya Seri I dengan tajuk Identitas dalam Komik Mahabhrata dan Identitas Peminum Ciu di Sukarta, Jumat (15/3/2024) mengatakan sejak masa penjajahan Belanda ciu digunakan oleh masyarakat Solo untuk berbagai kepentingan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Mulai dari ritual adat, obat oles, tombo anget (penghangat badan), minuman pesta, pupuk organik, pengikat solidaritas sosial, alat pendeteksi kebohongan, hingga meningkatkan kepercayaan diri.

Yusana menambahkan selain dari aspek sosial dan kebudayaan, peran ciu pada ekonomi sejak era penjajahan Belanda juga cukup besar. Lantaran pada saat itu sekitar 1925 ciu menjadi menjadi salah satu komoditas ekspor dan impor yang menjanjikan dan pihak Belanda pun diuntungkan dari pajak para perajin atau produsen ciu di Bekonang.

Menurut Yusana, dalam perkembangan zaman terutama mulai 2004-an, para penikmat ciu di Kota Bengawan mulai ada perubahan dalam hal cara menikmati ciu. Pada saat itu mulai muncul kelompok-kelompok penikmat ciu dengan berbagai nama, seperti Pangunci (Pakempalan Ngunjuk Ciu), Pengunci (Paguyuban Ngunjuk Ciu), dan Peminum ciu.

“Mulai 2004 ke atas, mulai muncul kelompok-kelompok penikmat ciu dan masing-masing punya cara tersendiri untuk menikmati ciu. Seperti Pangunci (Pakempalan Ngunjuk Ciu), Pengunci (Paguyuban Ngunjuk Ciu), dan Peminum ciu,” kata Yusana dalam acara seminar yang dilangsungkan via daring tersebut.

Pertama, Pangunci (Pakempalan Ngunjuk Ciu) merupakan kelompok penikmat ciu yang berasal dari lingkungan dalam Keraton Solo. Kata Yusana, kelompok ini hanya menikmati ciu pada momen-momen tertentu seperti sesudah kegiatan nggamel dan Ngangsu Kawruh yang biasanya dilakukan pada Kamis.

Tempat kelompok ini meminum ciu pun tak jauh dari keraton, yakni di Bale Bang, di area Siti Hinggil Keraton Solo. Secara keanggotaan kelompok ini juga terbatas karena hanya diikuti oleh kalangan keraton atau masyarakat sekitar yang terlibat acara keraton.

Pakempalan Ngunjuk Ciu, kata Yusana, juga memiliki sajian utama dan kelengkapan sajian (trambul) yang cukup lengkap untuk menikmati ciu. Umumnya mereka saat menikmati 1 sloki ciu yang diputar dan disambil makan aneka gorengan, grabyasan babi (lemak babi yang digoreng), swike kodok, dan kacang goreng.

Kelompok ini juga sudah memiliki aturan yang pakem ketika menikmati ciu yakni tertuang dalam Serat Centhini Jilid 9 dan Serat Tatatjara (Primbon Pradikaning Minum) karya Ki Padmasusastra. Sehingga para anggotanya ketika menikmati ciu bisa lebih terkontrol dan risiko berbuat onarnya sangat kecil.

Ciri terakhir dari kelompok ini, menurut Yusana, adalah memiliki citra sosial yang elegan artinya tidak dicap buruk. Sebab saat menikmati ciu kelompok ini punya kontrol dan seni atau estetika ketika meminum.

Kelompok kedua, Pangunci (Paguyuban Ngunjuk Ciu). Kelompok ini terbentuk mulai tahun 2004 hingga sekarang. Menurut Yusana kelompok ini muncul karena rasa ingin meniru masyarakat di luar keraton untuk menikmati ciu, maka dari itu komunitas ini bisa disebut juga penikmat ciu wong cilik.

Berbeda dengan Pakempalan Ngunjuk Ciu, Paguyuban Ngunjuk Ciu jauh lebih fleksibel dalam menikmati ciu. Kata Yusana, mereka ini umumnya meminum ciu pada akhir pekan atau saat hari libur.

Keanggotan kelompok ini lebih bebas, namun umumnya berasal dari aneka perkumpulan, seperti profesi tertentu, buruh, karyawan, kuli, tukang parkir, seniman, hingga teman bermain. Tempat minum ciu kelompok ini juga bebas tergantung kesepakatan anggota.

Secara aturan minum, kelompok ini juga tidak seketat Pakempalan Ngunjuk Ciu yang menggunakan serat atau kitab tertentu. Kata Yusana mereka hanya meniru sedikit adat minum keraton tapi biasanya dalam kelompok ini sudah punya aturan main tersendiri bagi anggotanya sehingga relatif lebih terkontrol.

Terakhir Paguyuban Ngunjuk Ciu punya sajian atau trambul yang lebih sederhana. Selain satu sloki ciu yang diputar bergilir, biasanya mereka memakan tahu dan tempe bacem, cengkaruk (nasi kering goreng), rica anjing, rica babi, dan kacang goreng.

Ketiga adalah kelompok peminum ciu biasa. Menurut dosen asal Yogyakarta itu, kelompok ini jauh lebih bebas daripada dua kelompok sebelumnya. Tidak ada aturan atau ketentuan khusus ketika menikmati ciu.

Jadi ketika ingin menikmati ciu bisa kapan saja, di mana saja, dengan siapa saja, dengan sajian pendamping apa saja dan sangat mengandalkan kontrol diri masing-masing. Sehingga risiko berbuat onar kelompok ini cukup besar sehingga stigma yang melekat pada kelompok ini adalah peminum ciu (pemabuk).

Yusana mengungkapkan bahwa selama konsumen termasuk penikmat ciu itu masih ada dan jumlahnya banyak produksi ciu akan terus berjalan. Bahkan pengrajin atau produsen ciu bertambah tiap tahunnya.

Ditambah ciu sendiri merupakan minuman yang sudah diwariskan turun menurun dengan berbagai fungsi. Mulai dari penghangat tubuh, campuran jamu, pengangat suasana, mendapatkan efek fly (melayang), kanalisasi masalah, dan yang paling penting adalah harganya murah.

“Selama penikmat atau konsumen masih ada produksi ciu ini akan terus berjalan. Dengan harga yang murah mulai dari Rp21.000-an/600 mili liter saja, para penikmat ini sudah bisa mendapatkan penghangat tubuh, jamu, gayeng-gayeng (kehangatan suasana), bisa dapat efek melayang, dan sarana kanalisasi masalah atau pelampiasan sementara dari permasalahan yang ada,” papar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya