SOLOPOS.COM - Lahan biji jali di Sukorejo, Sambirejo, Sragen. (Istimewa/Desa Sukorejo).

Solopos.com, SRAGEN — Kepala Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Sragen, Sukrisno merupakan manusia penuh filosofi.

Filosofi hidup nandur sing dipangan, mangan sing ditandur (menanam yang dimakan, memakan yang ditanam) membawanya melihat tanaman padi sebagai seorang dewi.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Padi itu dikenal sebagai Dewi Sri, tetapi dia punya saudari, namanya Dewi Anjali. Nah Dewi Anjali itu kalau di kehidupan dikenal sebagai tanaman jali,” ujar Sukrisno saat dihubungi Solopos.com via telepon, Jumat (16/6/2023).

Pegangan hidup tersebut membuat Sukrisno begitu mencintai Dewi Anjali. Buktinya, Sukrisno sampai membuatkan lagu untuknya. Langgam keroncong khusus berjudul Deworejo (Desa Wisata Sukorejo) ia buatkan khusus untuk menceritakan kisah Dewi Sri dan Dewi Anjali.

Menurut Sukrisno, hubungan padi dan jali lebih dekat yang dibayangkan orang-orang. Tanaman padi dan jali sama-sama memiliki malai berisi bulir-bulir buah, tetapi buah jali berukuran lebih besar. Bentuknya bulat sementara warnanya hitam.

Hal itu yang kemudian membuatnya mengupayakan membudidayakan jali sejak 2022. Menggunakan anggaran ketahanan pangan lewat dana desa, dia mulai menanam jali di lahan kas desa, tepatnya di sela-sela tanaman durian.

Di antara dua pohon durian, Sukrisno mencoba menanam kurang lebih 10 tanaman jali. Panen pertamanya yakni pada 2022 dengan menghasilkan 1 ton 7 kuintal.

Hasil yang banyak itu dia gunakan sebagiannya untuk menjadi benih masa tanam pada 2023.

“Sisanya saya jual ke perusahaan eLSi Camp, semacam perusahaan NGO yang mengenalkan saya dengan jali ini,” tutur Sukrisno.

Laudato Si’ Camp atau eLSi Camp merupakan komunitas NGO yang terfokus pada ekonomi warga. Mereka mengembangkan pangan dari biji jali dan Desa Sukorejo menjadi salah satu lokasi mereka mengembangkan program ini.

Bukan tanpa alasan Sukrisno menjual hasil panennya ke perusahaan di Jawa Tengah itu. Hasil panen jali memiliki kulit luar yang tajam dan sulit untuk dikupas, tidak seperti padi dengan gabah yang mampu terkelupas kapan saja.

Dengan legawa, Sukrisno mengakui timnya belum mampu mengupas biji jali agar bisa diolah menjadi bahan makanan layaknya gabah menjadi beras.

Hal itu dianggapnya sebagai keterbatasan karena langkahnya mengupayakan diversifikasi pangan dengan biji jali masih baru dimulai.

Sukrisno mengaku, eLSi Camp akan memberi Desa Sukorejo mesin selepan jika produksi biji jali mereka sudah banyak dan kontinyu. Tidak sabar dengan hasil tersebut, Sukrisno menggebu-gebu membangun lingkungan yang mendukung untuk produksi biji jali.

Hal tersebut dia lakukan dengan mulai menggarap peraturan desa (Perdes) tentang mengajak masyarakat Desa Sukorejo menanam dan mengkonsumsi biji jali. Sukrisno mengaku, masyarakat antusias dengan program diversifikasi pangan.

Sukrisno bisa jumawa, program biji jali sudah mulai berjalan dan itu semua berkat dirinya. Saat ini program sudah mencapai pelatihan dan pengolahan pascapanen.

Sembari tertawa, Sukrisno juga mengatakan jali merupakan tanaman asli Sragen yang dulunya dikonsumsi sejak dahulu sebelum dilaksanakannya Revolusi Hijau. Kini, produksi jali paling luas ada di Sukorejo dan belum ada di wilayah Sragen lainnya.

Sukrisno sendiri mencintai biji jali karena mempermudah pola dietnya. Dengan malu-malu dia mengaku sehari dia bisa makan nasi lima kali sehari.

Namun saat mengkonsumsi jali selama tiga hari, setiap harinya Sukrisno hanya butuh makan dua kali sehari saja. Dia tercengang atas hal itu.

Setelah dia pelajari, jali memang merupakan biji-bijian tinggi kalori dan rendah gula. Itu sebabnya dia bersemangat menginisiasi program diversifikasi pangan dengan jali.

Tantangan dalam mengembangkan budidaya jali adalah pengupasan kulit bijinya. Sukrisno mengakui bijinya cukup tajam sehingga bisa melukai pengupas biji tersebut. Namun Sukrisno optimis masyarakat Desa Sukorejo dapat mengolahnya dengan baik.

Biji jali dapat diolah dengan mudah, antara lain dijadikan nasi, bolu, minuman sari jali, ketan, dan bubur. Sukrisno memberi tips memasak biji jali menjadi nasi adalah takaran air yang digunakan untuk menanaknya lebih banyak dibandingkan air untuk menanak beras.

Keunggulan lainnya dapat ditanam karena sifatnya tidak gampang mati seperti gulma. Tanaman itu merupakan rumpun sejenis padi dengan tinggi mencapai dua meter.

Jali juga gampang panen. Sukrisno mengaku sekali menanam jali bisa mendapatkan tiga kali periode panen.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya