SOLOPOS.COM - Tampilan koleksi pawukon di Museum Radya Pustaka, Minggu (26/3/2023). (Solopos.com/Nova Malinda).

Solopos.com, SOLO–Pawukon dikatakan sebagai ilmu astrologi versi Jawa. Koleksi naskah pawukon ini bisa ditemukan, salah satunya di Museum Radya Pustaka Kota solo.

Naskah asli Pawukon pada dasarnya dituangkan dalam tulisan Jawa latin. Untuk memudahkan pemahaman pembaca, naskah kuno tersebut kemudian ditulis ulang dalam tulisan alfabet.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Jadi di Jawa itu juga ada ilmu astrologi, selama ini yang kita tahu ilmu astrologi ada zodiak-zodiak seperti cancer, kemudian di china ada shio,” ucap pengurus museum, Bangkit Supriyadi saat ditemui Solopos.com di Museum Radya Pustaka, Jumat (24/3/2023).

Bangkit menekankan pawukon merupakan ilmu astrologi versi Jawa yang ditulis dalam tulisan latin Jawa. Pawukon sendiri berasal dari kata wuku, artinya ciri-ciri, hitungan per tujuh hari.

“Jadi siklusnya itu, kalau zodiak pada umumnya itu kan satu bulan. Tapi ini tidak, kalau ini siklusnya per tujuh hari,” terang dia.

Siklus perhitungan pawukon akan mengalami pergantian wuku setiap tujuh hari, sementara zodiak hanya mengalami pergantian zodiak setiap satu bulan sekali.

Secara hitungannya, Pawukon memiliki 30 macam wuku. Jumlah tersebut lebih banyak dibanding dengan jenis peruntungan zodiak yang hanya 12 macam.

Nama-nama wuku dalam pawukon tersebut meliputi Sinta, Landep, Ukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangu, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Merakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut, Watugunung.

“Menurut saya, pawukon lebih kompleks dibandingkan hitungan astrologi yang lain,” jelasnya.

Perhitungan astrologi yang lain hanya membaca karakternya, sementara Pawukon bisa menjangkau pembacaan lebih luas. Naskah pawukon memuat berbagai lingkup mulai dari karakter seseorang, hitungan jawa, dan pranata mangsa.

Salah satu manfaatnya, pawukon bisa digunakan untuk panduan menentukan waktu bercocok tanam yang baik melalui perhitungan pranata mangsa.

“Misalnya dulu, masyarakat Jawa hanya bermata pencaharian petani atau bercocok tanam. Pranata mangsa ini digunakan oleh masyarakat zaman dulu untuk bekerja, katakanlah bercocok tanam,” terang dia.

Selain itu, pranata mangsa juga dimanfaatkan masyarakat lampau untuk memilih bahan kayu saat membangun rumah.

“Sebenarnya orang zaman dulu sudah eksak, cuma belum bisa mengartikulasikan. Contohnya bangun rumah, dulu memang belum ada tembok semen, bangun rumah pakai kayu,” papar dia.

Saat memilih kayu untuk bangun rumah, masyarakat lampau akan menebang kayu saat mangsa ke sembilan, sepuluh, dan sebelas. Ini dilakukan sesuai rekomendasri dari pawukon dalam pranata mangsa.

“Ternyata dalam mangsa tersebut, ada zat dalam kayu atau bambu bernama zat lignin itu kadarnya sangat rendah. Zat lignin ini sangat disukai oleh rayap dan ngengat,” terang dia.

Ketika zat lignin rendah maka kemungkinan untuk terjadi pelapukan dalam kayu atau bambu juga akan rendah. Oleh karena itu, masyarakat lampau disarankan untuk menebang pohon pada mangsa tersebut saat akan membangun rumah.

“Kalau kayu dan bambunya awet, jadi tidak terlalu sering menebang pohon, untuk siklus alamnya juga ikut bagus,” kata dia.

Selain bangun, dalam naskah pawukon ada panduan untuk perhitungan pindah rumah, hingga menentukan tanggal pernikahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya