SOLOPOS.COM - Tradisi Memetri Punden Kanjeng Nyai Pocung oleh warga Kampung Tempuran RT 002/RW 006 Bulakan, Sukoharjo pada Minggu (30/7/2023). (Solopos.com/Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO — Tradisi Memetri Punden Kanjeng Nyai Pocung kembali diselenggarakan oleh warga Kampung Tempuran RT 002/RW 006 Bulakan, Sukoharjo, pada Minggu (30/7/2023). Tradisi merawat tempat yang dikeramatkan itu sudah dilakukan turun temurun sejak sekira 1937. Sayangnya selama dua tahun terakhir sempat terhenti lantaran pandemi Covid-19.

Dalam kegiatan itu seluruh warga baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak hingga hingga orang tua, berkumpul bersama. Mereka melantukan doa di Punden Kanjeng Nyai Pocung di kampung setempat. Mereka juga makan bekal bersama yang dibawa masing-masing sambil duduk beralaskan tikar di bawah rerimbunan pohon dan bercengkerama.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Pepohonan di lokasi punden itu diyakini sudah ada sejak ratusan tahun silam. Beberapa yang masih tersisa di antaranya pohon randu alas, besole, mundu, dan salah satu pohon jambu air di sana diyakini memiliki aura spiritual. Pohon jambu tersebut telah roboh namun akar dan batangnya masih tertanam kuat di tanah.

Tradisi Memetri Punden Kanjeng Nyai Pocung sukoharjo
Pohon Jambu yang diyakini memiliki aura spiritual. (Solopos.com/Magdalena Naviriana Putri)

Konon di lokasi tersebut dulunya pernah disinggahi seorang putri raja dari Kerajaan Pajajaran yang tidak boleh disebut namanya. Putri tersebut dikabarkan pergi meninggalkan kerajaan karena menolak dinikahkan. Ia meninggalkan singgasana dengan menaiki rakit dikawal tiga abdinya mengikuti arus Bengawan Solo.

Tiga abdi yang mengawal sang putri raja tersebut, masing-masing diceritakan memiliki keahlian. Ada yang ahli bercocok tanam, ahli kanuragan atau bela diri, dan seorang pujangga.

Rombongan Putri ini kemudian terhenti di lokasi yang kini jadi Kampung Tempuran lantaran rakitnya tersangkut pohon pocung dan kepoh. Kemudian pohon yang membuat rakit putri itu tersangkut itu dijadikan nama tempat tersebut yakni Punden Kanjeng Nyai Pocung. Seiring waktu berjalan, punden itu memiliki banyak cerita mistis.

Tradisi Memetri Punden Kanjeng Nyai Pocung sukoharjo
Punden Kanjeng Nyai Pocung di Kampung Tempuran RT 002/RW 006 Bulakan, Sukoharjo. (Solopos.com/Magdalena Naviriana Putri)

Ada satu warga setempat yang mengaku masih menyimpan catatan tentang asal-usul tradisi memetri punden beserta sejarahnya. Ia adalah Sabar Satoto, 60. Sabar bercerita pada zaman perang kemerdekaan, lokasi tersebut pernah dijadikan tempat persembunyian pejuang dari kejaran tentara Belanda. Banyaknya akar pohon berdiameter besar membuat siapa saja yang bersembunyi di sana menjadi tidak terlihat.

Bahkan, Punden Kanjeng Nyai Pocung juga menjadi tempat aman untuk berlindung dari hujan peluru dan mortir tentara Belanda. Dalam cerita yang dilisankan turun temurun, ketika mortir jatuh di lokasi tersebut biasanya tidak sampai meledak.

“Tempat ini berulang kali menyelamatkan warga dari gempuran tentara Belanda. Bahkan pada saat Gestapu [Gerakan September Tiga Puluh] semua warga laki-laki berhasil selamat dari pembantaian PKI karena bersembunyi di sini,” papar Sabar.

Atas berbagai peristiwa sejarah yang dialami warga tersebut, maka tradisi syukuran atau memetri punden mulai diselenggarakan. Tepatnya setelah perang dengan Belanda berakhir. Menurutnya lokasi tersebut juga sering didatangi warga dari berbagai daerah yang mau melakukan ritual tirakat.

Tapi peziarah yang mau mencari pesugihan tidak bisa melakukan pesugihan di tempat tersebut. Tak jarang banyak pendatang yang mendatangi lokasi tersebut untuk berdoa meminta keturunan.

Sabar menjelaskan penyelenggaran tradisi memetri punden di Kampung Tempuran biasanya dilaksanakan setiap tahun pada bulan Sura antara 10-12 Muharram. Rangkaian acaranya terdiri atas bersih-bersih punden, selawatan diiringi musik rebana, kenduri, dan doa bersamaan yang kemudian ditutup dengan pergelaran karawitan.

Camat Sukoharjo, Havid Danang Purnomo Widodo, yang hadir dalam acara tersebut menyampaikan memetri punden yang diselenggarakan warga Tempuran merupakan bagian dari melestarikan tradisi dan budaya Jawa.

“Ini sebenarnya rutin diselenggarakan, namun sudah lama vakum karena pandemi Covid-19. Lokasinya di pinggir Bengawan Solo merupakan salah satu hutan kota dengan pepohonan yang umurnya ratusan tahun. Tentunya ini perlu dijaga kelestariannya,” papar Havid.

Ia mengapresiasi terselenggaranya kembali tradisi punden tersebut. Warga tampak kompak bergotong-royong menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan acara. Selain itu, kembul bujono atau makan bersama dengan bekal makanan hasil masakan warga disajikan dan dimakan bersama-sama dengan maksud sebagai ajakan untuk sama-sama menjaga kelestarian budaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya