SOLOPOS.COM - Pengunjung berjalan di depan Gedung Serbaguna Giri Cahaya di Jl. Jenderal Sudirman No. 132, Kelurahan Giritirto, Wonogiri, Kamis (30/3/2017). (Danur Lambang Pristiandaru/JIBI/Solopos)

Gedung pertemuan Giri Cahaya dulunya merupakan bioskop yang menjadi andalan warga Wonogiri untuk menonton film.

Solopos.com, WONOGIRI — Beberapa minibus berbagai merek dan model terparkir di halaman Gedung Serbaguna Giri Cahaya, Wonogiri, Kamis (30/3/2017). Tidak ada aktivitas manusia di dalam gedung di Jl. Jenderal Sudirman No. 132, Kelurahan Giritirto, Wonogiri, tersebut saat Solopos.com melongok ke dalam melalui jendela. Gedung itu lengang.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Kondisi itu berbeda dibanding pada dekade 1970-an dan 1980-an lalu. Di dalam ingatan, Sri Untari masih terekam jelas kerumunan massa saat itu. Ribuan orang dari berbagai latar belakang hilir mudik masuk dan keluar gedung tersebut.

Dua layar perak terbentang dan deretan kursi berjejer di dalam gedung tersebut. Kala itu, Sri merupakan karyawan bioskop yang berada di dalam Gedung Giri Cahaya yang bernama Giri Cahaya Theatre.

Dia bertindak sebagai petugas penyobek tiket masuk bioskop dan mulai bekerja pada awal dekade 1980-an. Masih terpatri jelas dalam ingatannya beberapa film seperti Tutur Tinular, Wiro Sableng, dan Rambo menjadi magnet yang menarik warga Wonogiri untuk datang ke bioskop tersebut.

“Dalam sehari bisa muter [memutar] empat film. Apalagi kalau Sabtu dan Minggu, ada lima film yang diputar. Dalam satu hari, ada 4.000 orang yang keluar-masuk gedung bioskop,” kenang dia saat berbincang dengan Solopos.com di kediamannya di Lingkungan Kedungringin, Kelurahan Giritirto, Wonogiri, Kamis.

Sri juga masih ingat harga tiket masuk Giri Cahaya Theatre. Terdapat tiga kelas dalam bioskop tersebut. Tiket masuk untuk kelas I seharga Rp400, kelas II dan kelas III masing-masing seharga Rp200 dan Rp100.

“Beda cerita kalau film yang diputar merupakan film baru. Tiketnya saat itu seharga Rp700. Bahkan pada awal dekade 1980-an, beberapa produsen rokok bekerja sama dengan beberapa bioskop. Untuk dapat masuk saat itu hanya perlu menunjukkan 10 bungkus rokok kosong. Sampai-sampai jalanan dan trotoar jadi bersih, enggak ada sampah bungkus rokok karena dipunguti orang agar bisa nonton film,” sambung dia.

Lewat bioskop pula dia berkenalan dan menikah dengan Suyatno, operator pemutar proyektor Giri Cahaya Theatre. Suyatno bercerita dekade 1980-an merupakan masa kejayaan Giri Cahaya Theatre.

Sampai-sampai pemiliknya saat itu, Hartono Adi Noegroho, membuka dua bioskop di kawasan Kelurahan Giritirto dan tiga bioskop masing-masing di Kecamatan Pracimantoro, Kecamatan Baturetno, dan Kecamatan Jatisrono.

“Dulu film juga sempat ditanggap orang punya hajat untuk hiburan para tamu. Saya juga bertugas membawa dan menyiapkan kelengkapan pemutar film kepada mereka. Bahkan saya sempat diundang ke Kecamatan Geyer, Grobogan. Saat ditanggap, film dimulai pukul 20.00 WIB dan rampung pada subuh. Ada empat film yang diputar biasanya,” tuturnya.

Sementara itu salah satu anggota Staf Kantor Giri Cahaya Theatre, Mulyadi, mengatakan sebelum dikelola Hartono Adi Noegroho sebagai gedung bioskop, gedung tersebut juga dipakai sebagai gedung bioskop bernama Giri Jaya pada dekade 1970-an.

“Saat berjaya, ada sekitar 14 orang yang bekerja di Giri Cahaya Theatre. Sedangkan bioskop lain di kawasan Kelurahan Giritirto dan kecamatan paling hanya delapan orang,” sambungnya.

Seiring berjalannya waktu, pada akhir dekade 80-an muncullah beberapa televisi swasta. Mereka menayangkan film-film yang juga diputar di bioskop. Beberapa waktu kemudian, teknologi bernama cakram laser dan kaset video menjadi populer. VCD mengambil alih peran bioskop sebagai tempat eksklusif yang menyuguhkan film kepada warga.

Lambat laun, bioskop ditinggalkan penikmat setianya. Satu per satu bioskop di tiga kecamatan gulung tikar. Kedua bioskop di Kelurahan Giritirto juga ditutup. Hanya Giri Cahaya Theatre yang masih setia menunggu pengunjung masuk ke dalamnya pada awal dekade 1990-an.

Perubahan zaman lah yang memaksa Giri Cahaya Theatre menyerah. Pada pertengahan dekade 1990-an, Giri Cahaya Theatre resmi ditutup. Kini hanya saat acara tertentu gedung tersebut mengeluarkan suara. Sisanya, gedung tersebut hanya berteman sepi dan kenangan tentang kejayaan masa lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya