SOLOPOS.COM - Arkha Tri Maryanto (baju abu-abu) menyeduh teh di kedai Titilaras miliknya yang berada di Pasar Gede sebelah Barat lantai 2, belum lama ini. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Laki-laki berkacamata dengan kaus abu-abu polos itu menyeduh satu gram teh Yogyanira di kedai kecil miliknya bernama Titilaras yang berada di tengah keramaian Pasar Gede Solo sebelah barat lantai 2. Teh premium dari Kabupaten Batang, Jawa Tengah itu diseduh dengan telaten di gelas cawan.

Pria itu bernama Arkha Tri Maryanto, 31, pemilik sekaligus pendiri Titilaras. Setelah beberapa menit kemudian, teh itu disuguhkan kepada kami, termasuk salah satunya adalah seorang pria asal Lampung, Jona, 28.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Jona datang jauh-jauh dari provinsi yang terletak di paling ujung tenggara pulau Sumatra hanya ingin merasakan seduhan kopi dan teh Titilaras.

“Tadi pesan masih kurang puas, eh pas ditawarin itu [seduhan teh Yogyanira], wah keluar yang dicari, dan bahagia banget,” kata dia ketika berbincang di Kedai Titilaras, Pasar Gede Solo, belum lama ini.

Kedai yang sudah buka sejak 2022 itu akhir-akhir ini menjadi perbincangan warganet karena menawarkan konsep yang unik. Kedai itu menawarkan konsep slow bar. Ini memungkinkan pelanggan bisa berbincang langsung dengan barista mengenai kopi atau teh yang sedang diseduh.

Arkha juga tidak menyediakan menu. Biasanya, pria suka yang ngomong itu akan bertanya terlebih dahulu ingin kopi atau teh. Beru setelah itu, dia merekomendasikan menu sesuai bahan yang tersedia di kedainya. 

“Aku selalu menjelaskan di sini bahan baku dan menu terbatas untuk beberapa porsi aja. Kita ada basic kopi, teh, dan cokelat. Dengan tidak adanya menu itu pasti akan ngobrol. Kalau klik nanti obrolannya pasti lama,” kata dia.

Sudah menjadi kebiasaan Arkha yang sering dilakukan kepada pengunjung, yakni mengajak berbincang. Topik perbincangannya tidak melulu soal teh atau kopi, terkadang bisa hal remah sampai serius seperti masalah sehari-hari sampai sejarah.

“Karena aku di sini membangun ruang interaksi itu terjadi. Karena basic-nya di awal adalah, setelah aku teliti, ternyata manusia sebagai makhluk sosial itu semakin lama kehilangan kemampuan untuk interaksi, ya kita tidak memungkiri itu salah satunya karena kehadiran teknologi,” kata dia.

Pengalaman masa kecil Arkha ternyata menjadi salah satu alasan kenapa dia memilih Pasar Gede sebagai tempat membuka kedai. Meski awalnya dia mengaku pilihan ini karena ketidaksengajaan setelah melihat iklan Facebook tentang ruko yang kosong di Pasar Gede.

Tapi, Arkha sendiri akhirnya merasa cocok dengan suasana pasar. Baginya ini juga berkaitan ketika dirinya sering pergi ke pasar bersama sang ibu. Ibunya membuka toko kelontong di Pasar Legi. “Aku sebetulnya punya keinginan berjualan di pasar,” kata dia.

Hingga akhirnya tujuan itu dia wujudkan setelah dirinya dewasa dengan membuka kedai. Meski Pasar Gede bukan pilihan pertama, awalnya Arkha lebih memilih membuka kedai di rumah dengan gaya tua. Pilihannya sangat spesifik.

“Jadi konsep awal aku itu ingin membuka di rumah. Sudah ada calon rumahnya, cakep banget. Rumah yang aku ingin itu bergaya vintage, temboknya tebal yang bisa meredam suara, sama jendelanya juga lebar,” kata dia. Namun karena alasan biaya, Arkha tidak jadi memakai rumah itu. 

Pilihannya dia menempati ruko di Pasar Gede rupanya tepat. Titi Laras dan pasar ternyata berjodoh. Arkha mengaku melakukan riset kecil-kecilan untuk mengetahui bagaimana kebiasaan pengunjung, pedagang, dan aktivitas lain di Pasar Gede.

“Aku melakukan studi lapangan, observasi, dan riset itu hampir satu bulan. Yang dikulik adalah ekosistem besar di Pasar Gede. Ketika aku membuat ini, aku sadar aku tidak akan melawan ekosistem di Pasar Gede, ya contoh kebisingan pasar,” kata dia.

Selain tidak ada menu tetap, Arkha juga tidak punya jam kerja tetap. Dia juga tidak pernah menentukan pukul berapa Titilaras buka. Biasanya dirinya akan memberikan pemberitahuan melalui akun Instagram Titilaras.

Secara sengaja Arkha memang membangun ekosistemnya sendiri. Hal itu diterapkan melalui bagaimana caranya berinteraksi dengan pelanggan, menentukan minuman yang disajikan, sampai jam buka yang tidak menentu. Ada semacam kewajiban tidak tertulis untuk pelanggan agar mengikuti ekosistem itu jika berminat minum di Titilaras.

Ekosistem itu juga sesuai dengan nama kedai. Nama Titilaras diambil dari istilah seni Jawa yang merupakan tangga nada. Dia merasa nama itu sesuai dengan filosofi hidupnya. Titilaras terdiri atas dua kata yakni Titi yang berarti meniti, dan Laras yang berarti selaras.

“Orang hidup harus meniti, meniti itu berjalan atau memperbaiki sesuatu. Orang hidup juga harus selaras atau menyeimbangkan sesuatu. Contoh hal paling sederhana, kalau dapat kerja ya harus simbang dengan istirahat,” kata dia.

Arkha dengan Titilaras belum selesai. Dia masih punya rencana untuk mengembangkan menu-menu baru. Termasuk menghadirkan konsep baru di kedai miliknya. “Aku mematok paling tidak sebulan sekali ada racikan baru,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya