SOLOPOS.COM - Ki Sudirman, dalang asal Gondang Baru, Gondang, Sragen, menunjukkan wayang katakter Baladewa hasil buatannya, Sabtu (26/3/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Nama sabetan kedungbantengan digandrungi para dalang generasi muda dalam pakeliran wayang kulit. Sabetan wayang yang seolah-olah hidup ini dikenal hampir oleh seluruh dalang wayang kulit di Tanah Air. Sabetan wayang yang khas itu ternyata berasal dari Sragen.

Seorang dalang asal Gondang Baru RT 014/RW 005, Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Sragen, Ki Sudirman, mengatakan sabetan kedungbantengan itu diambil dari nama Stasiun Gondang, yakni Stasiun Kedung Banteng. Nama Kedung Banteng itu sendiri merupakan nama dukuh yang di Desa Banaran, Kecamatan Sambungmacan, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Gondang.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Sabetan itu yang memberi nama Ki Sudarman Ganda Darsana. Sabetan wayang itu seperti gaya wayangan yang berbeda dengan gaya wayangan lainnya. Saat itu Mbah Darman masih tinggal di Gondang kemudian tinggal di Dolopo [Madiun], Jawa Timur,” ujarnya kepada Solopos.com, Sabtu (26/3/2022).

Baca Juga: Perajin Wayang Kulit di Sonorejo Sukoharjo Bertahan Meski Order Sepi

Sudirman yang masih kerabat dengan Ki Sudarman berkisah tentang sabetan wayang kedungbantengan. Dia menyebut sebenarnya pencipta sabetan itu aslinya Ki Ganda Buwana asal Dolopo, Madiun, pada 1959-1960. Saat menciptakan sabetan itu, ujar dia, usia Mbah Buwana masih muda, sekitar 36 tahun.

Namun, dalam menggerakan wayang itu Mbah Buwana kurang terampil. Ki Sudarman yang menjadi salah satu siswanya meniru gerakan lincah wayang hasil karya Mbah Buwana tersebut.

“Mbah Sudarman ini masih keponakannya Mbah Buwana. Nah, setelah Mbah Sudarman lihai memainkan sabetan wayang itu maka kemudian dikenalkan Mbah Sudarman dan diberinama sabetan kedungbantengan,” ujarnya.

Baca Juga: Ini Dia Sosok Dalang Tertua di Sragen, Tak Ada Pesaing

Sudirman menerangkan dalam perkembangannya, Mbah Sudarman memiliki 12 siswa. Salah satunya kakak Sudirman yang bernama Ki Mulyanto. Ki Mulyanto memiliki kemampuan lebih lihai dan gesit sehingga lebih hidup gerakan wayangnya.

Terlalu Halus

Sudirman masih ingat pada era 1980-1985, sabetan itu dikembangkan lagi. Saat itu, Sudirman yang berumur sembilan tahun menjadi cantrik mendalang dengan kakaknya.

“Saya juga mengembangkan sabetan kedungbantengan itu. Hidup dan kuatnya dalam menggerakan wayang sama dengan Mas Mulyanto. Sekarang banyak dalang-dalang muda belajar ke sini [rumah Ki Sudirman]. Para mahasiswa ISI [Institut Seni Indonesia] Solo dan SMKI banyak yang belajar ke sini,” ujarnya.

Dia menerangkan sabetan sebelumnya halus yang seperti sabetannya Ki Anom Suroto itu merupakan sabetan dari Klaten. Model wayangan itu bagi Mbah Buwana maupun Mbah Darman, kata dia, terlalu halus sehingga dibuat sabetan yang berbeda, seperti wayang salto atau jungkir balik.

Baca Juga: Pentaskan “Khalid Basalamah”, Dalang Ki Warseno Slank Disomasi

“Banyak dalang di Indonesia yang membawa gagrak kedungbantengan. Gerakan wayangnya seperti hidup dan seperti ada nyawanya,” ujarnya.

Dalang asal Kedawung, Sragen, Ki Medhot Sudarsana, mengungkapkan wayangan atau pedalangan atau pakeliran gagrak kedungbantengan memang mendapat pengakuan dari kalangan seniman maupun masyarakat di eranya dalang Ki Darman Ganda Darsana.

“Ciri khasnya, punya iringan srepeg dan sampak tersendiri. Keprakan juga berbeda dengan yang lain. Sulukan menggunakan banyak format atau cengkok Jawa. Almarhum Mbah Darman itu biarpun berdomisili di Jawa Timur tetapi juga memiliki rumah di Gondang,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya