SOLOPOS.COM - Gapura Ngaru Aru, Banyudono, Boyolali, yang dibangun oleh Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono (PB) X. Wilayah itu lebih dikenal dengan nama Pengging. Foto diambil Rabu (23/11/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com Stories

Solopos.com, BOYOLALI — Dibandingkan Banyudono yang tercatat secara resmi sebagai wilayah administrasi kecamatan tempatnya berada, nama Pengging, Boyolali, lebih tersohor. Beberapa kegiatan setingkat kecamatan lebih banyak menggunakan nama Pengging ketimbang Banyudono.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Misalnya, Pengging Fair yang merupakan event budaya tahunan yang digelar oleh pemuda dan pemudi Banyudono untuk melestarikan adat budaya sekaligus menggerakkan perekonomian setempat.

Sebagai informasi, Banyudono adalah kecamatan di Boyolali yang berdasarkan buku Kabupaten Boyolali dalam Angka 2023 terbitan BPS, memiliki luas 25,51 kilometer persegi. Pusat pemerintahan berada di Desa Jembungan.

Sedangkan kawasan Pengging merujuk pada wilayah di sebelah selatan jalan Solo-Semarang. Secara administrasi, Pengging memang tidak tercatat sebagai nama desa atau kecamatan, hanya nama dukuh. Namun, nama itu sudah sangat terkenal di kalangan warga.

Bahkan, kenek bus Solo-Semarang pun sudah paham ketika ada penumpang minta diturunkan di Pengging, maka bus akan berhenti di traffic light atau bangjo Ngangkruk, Ngaru Aru, Banyudono, Boyolali.

Tersohornya nama Pengging tidak lepas dari sejarahnya yang panjang. Nama itu diperkirakan telah ada sejak abad ke-15. Nama kawasan Pengging juga disebut dalam kitab Negara Kertagama karya Empu Prapanca. Diyakini umur Pengging lebih tua dibandingkan Boyolali.

Pemerhati Sejarah dan Budaya Boyolali, R Surojo, menjelaskan Pengging dulu masuk wilayah Kerajaan Majapahit. Nama Pengging muncul dalam pupuh 17 bait enam di kitab Negara Kertagama yang menyebut nama Pongging.

Pongging, tutur Surojo, diketahui terletak di sebelah barat pinggir Sungai Bengawan Solo atau Kali Wuyu dan luasnya membentang hingga lereng Gunung Merapi dan Merbabu.

pengging boyolali
Kantor Kecamatan Banyudono, Boyolali. Foto diambil Rabu (23/11/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Penjaga Bengawan Solo dulu bernama Buaya Putih. Ia memiliki anak bernama Joko Sengoro yang tumbuh menjadi kepala keamanan transportasi di wilayah Bengawan Solo.

Seiring waktu berjalan, Joko Sengoro yang dianggap berjasa hingga diangkat menjadi menantu Raja Majapahit dan diberi kekuasaan di Pengging dengan jabatan adipati. Joko Sengoro kemudian bergelar Prabu Sri Mangkurung Handayaningrat atau Kyai Ageng Pengging.

“Pengging di masa Sri Mangkurung Handayaningrat yang bergelar adipati, waktu itu sudah setingkat kabupaten. Pajang dulu juga masuk wilayah Pengging,” jelas dia saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis (23/11/2023).

Masa Kerajaan Medang

Terkait asal usul nama Pengging, ia mengatakan tidak mengetahui secara pasti. Namun, jika dilihat dari beberapa nama daerah di Boyolali, Surojo meyakini nama Pengging berasal dari nama buah atau pohon.

Walau begitu, seiring berjalannya waktu, muncul utak-atik gathuk dari masyarakat terkait nama Pengging yaitu mempeng sing nyungging atau tekun dalam menatah batu. Diyakini, dulu penduduk Pengging adalah tempat para penatah batu candi.

“Tapi kalau dilihat dari Negara Kertagama, nyata-nyata tertulis Pongging. Artinya memang daerah itu sudah menjadi daerah lama, bukan lagi daerah baru,” kata dia.

Sedangkan berdasarkan folklore, ia memperkirakan nama Pengging sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit, tepatnya di masa Kerajaan Medang atau Mataram Kuno.

Tak hanya folklore, ia juga menjelaskan terdapat pula prasasti Garung di wilayah Pengging, Banyudono, Boyolali, yang dibuat sekitar tahun 819 Masehi. Prasasti tersebut muncul pada masa Rakai Garung berkuasa di Kerajaan Medang.

Surojo menceritakan ada pula folklore terkait Bandung Bondowoso yang membangun seribu candi untuk Roro Jonggrang. Diyakini warga Pengging saat itu ahli dalam membuat ukiran batu candi semasa Kerajaan Medang.

“Hanya pada zaman Kerajaan Medang, apa namanya Pongging atau nama lain, di prasasti tidak disebutkan, kecuali dalam kitab Negara Kertagama,” kata dia.

Dalam prasasti Garung dikisahkan ada pendeta tua yang mengurus tempat-tempat peribadatan Hindu. Walaupun prasasti tersebut tidak secara spesifik menyebut nama Pengging.

pengging boyolali
Umbul Tirtomarto atau Umbul Pengging di Kecamatan Banyudono, Boyolali. Foto diambil Rabu (23/11/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Surojo mengungkapkan Pengging dulu merupakan kawasan keagamaan atau religius di masa Kerajaan Medang. Di sana ada kawasan semacam tempat kerohanian orang-orang yang disebut sebagai Mandala.

“Dengan prasasti tahun 819 itu menunjukkan bahwa di Pengging sudah ada daerah pemerintahan walau setingkat watak atau setingkat kecamatan, bukan rakai atau gubernuran,” kata dia.

Pengaruh dari peribadatan di Pengging masa Kerajaan Medang menyebar sampai lereng Merapi dan Merbabu. Pada masa itu, ada keharusan bagi pemeluk agama Hindu di Pengging untuk melakukan prosesi ke gunung.

Surojo meyakini hal tersebut karena 100 tahun setelah muncul prasasti Garung terdapat tempat keresian di daerah Wonosegoro, Desa/Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. Di sana terdapat pula prasasti Wonosegoro.

Berawal dari setingkat kecamatan, wilayah Pengging membentang luas menjadi daerah setingkat kabupaten dari barat Sungai Bengawan Solo hingga timur lereng Merapi. Namun kini wilayah Pengging hanya menjadi sebutan untuk kawasan Banyudono di sisi selatan jalan Solo-Semarang, Boyolali.

Masa Kerajaan Demak

Ia menyebut menyusutnya wilayah Pengging karena pengaruh politik dan sentimen Kerajaan Demak kepada Pengging. “Mungkin Pengging dianggap sebagai ancaman politik bagi Kerajaan Demak, sebab Joko Sengoro atau Handayaningrat adalah menantu Rraja Majapahit dari permaisuri. Sedangkan Raden Patah [dari Kerajaan Demak] ibunya bukan permaisuri, tapi selir,” jelas dia.

Raden Patah diketahui bisa menjadi raja karena dukungan para wali. Semestinya, tutur Surojo, yang berhak menjadi raja adalah Handayaningrat. Pada saat Kerajaan Demak berdiri, diketahui Kadipaten Pengging lebih loyal kepada Kerajaan Majapahit.

Sentimen tersebut, lanjut Surojo, membuat wilayah Pengging harus dihilangkan oleh Kerajaan Demak dengan berbagai cara. Ditambah lagi, sejak pendudukan Belanda di Indonesia, pusat peradaban mulai dipindah ke Boyolali, maka Pengging pun semakin sepi.

Nama Pengging juga tidak terlihat dalam Staatsblad 1847, bahkan sebagai nama setingkat desa sekalipun. “Hingga kini nama Pengging itu ada karena pengaruh tradisi,” kata dia.

Ia mengatakan selatan jalan Solo-Semarang wilayah Kecamatan Banyudono masih disebut Pengging karena dulunya merupakan jantung peradaban atau pusat kota. Pengging baru kembali terurus setelah ibu kota Kerajaan Mataram Islam pindah ke Kartasura.

Masa Kerajaan Mataram Islam

Lalu, pada masa Mataram berpusat di Surakarta, Raja Paku Buwono X mulai melakukan pembangunan di Pengging seperti Masjid Cipto Mulyo, Umbul Tirtomarto, dan sebagainya.

Warga Karangduwet, Bendan, Banyudono, Boyolali, Achmadi, 81, menyampaikan sejak ia lahir pada 1942, wilayah tempatnya tinggal sudah dikenal sebagai Pengging. Daerah yang biasa disebut Pengging itu, tutur Achmadi, berada di selatan jalan Solo-Semarang wilayah Banyudono.

Beberapa desa yang ia sebut menjadi kawasan Pengging antara lain Ngaru Aru, Bendan, Jembungan, Dukuh, dan sebagian kecil di Salakan, Kecamatan Teras, Boyolali. Achmadi tidak tahu menahu asal muasal nama Pengging.



Ia hanya mengingat Pengging saat ia kecil dan sekarang sangat berbeda. Jalan Ngaru-aru hingga ke Masjid Cipto Mulyo yang dekat dengan rumahnya saat itu masih berupa tanah dengan pohon-pohon tinggi menjulang di kanan-kirinya.

“Dulu kalau malam tidak ada yang berani lewat, sekarang sudah ramai. Umbul Tirtomarto juga tidak sebagus sekarang ini gapuranya. Di Ngangkruk wilayah Ngaru Aru itu dulu banyak dokar, tidak terhitung, sekarang hanya satu dan dua,” kata dia.

pengging boyolali
Masjid Cipto Mulyo yang dibangun oleh Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono (PB) X. Foto diambil Rabu (23/11/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Ia menjelaskan tempat-tempat wisata semasa ia kecil juga belum ada. Sekarang bermunculan tempat wisata di Pengging. Ada pula kuliner di sekitaran Pengging yang menunjang wisata.

Keberadaaan Alun-Alun Pengging di timur Masjid Cipto Mulyo yang menjadi pusat kegiatan masyarakat juga termasuk baru. Sebelumnya, lokasi tersebut adalah Pasar Pengging.

Masa Sekarang

Lebih lanjut, ia menceritakan tidak ada desa bernama Pengging di Banyudono, Boyolali. Namun, ada dukuh bernama Pengging. Walaupun begitu, nama Pengging justru lebih terkenal di masyarakat lebih dibanding nama Banyudono.

Achmadi menjelaskan warga Banyudono di sebelah utara Jalan Solo-Semarang pun untuk mempermudah memperkenalkan diri juga menggunakan nama Pengging.

Camat Banyudono, Dwi Hari Kuncoro, juga mengakui nama Pengging lebih terkenal daripada Banyudono. Ia pun heran karena orang Solo, Klaten, bahkan tidak hanya di Soloraya tapi juga di Jawa Tengah lebih mengenal Pengging ketimbang Banyudono.

“Faktanya di Banyudono memang terkenal dengan nama Pengging. Di Banyudono juga menggunakan nama Pengging Fair, bukan Banyudono Fair. Walaupun isi Pengging Fair itu semua desa, ada 15 desa, terlibat di Pengging Fair,” terang dia.

Ia menjelaskan ada empat desa yang intens mengurusi Pengging Fair ada empat desa di Banyudono yaitu Ngaru Aru, Dukuh, Bendan, dan Jembungan. Gelaran Pengging Fair sendiri menjadi agenda tahunan di Banyudono.



Kuncoro menyebut Pemkab Boyolali juga selalu mendukung acara di Pengging. Buktinya, lanjut dia, Bupati Boyolali sering datang untuk mengunjungi acara di Pengging.

Selain Pengging Fair, ada juga beberapa acara seperti padusan dan sebaran apam kukus keong emas. Ia menilai nama Pengging lebih populer daripada Kecamatan Banyudono karena ada cerita tentang Kerajaan Pengging yang cukup kuat dan tua di masa lalu.

Selain itu, ia mengatakan Pengging juga memiliki hubungan dengan Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Walaupun nama Pengging lebih tersohor di masyarakat dibanding Banyudono, Kuncoro mengatakan hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan.

“Kami juga tidak merasa kalah dalam hal popularitas, kami juga bangga kok nama Pengging lebih terkenal dibanding Banyudono. Nama itu sudah turun temurun, dan kami enjoy dengan kearifan lokal tersebut,” kata dia.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya