SOLOPOS.COM - Petilsan Poleksono yang juga disebut sumber panguripan atau sumur kawak menjadi cikal bakal Dukuh Ngasinan Wetan yang terletak di wilayah Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Sragen, Rabu (24/5/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com Stories

Solopos.com, SRAGEN — Sejumlah desa di wilayah Soloraya masih menyimpan dan mempertahankan budaya tradisional yang khas. Beberapa di antaranya berhasil mengoptimalkan potensi itu menjadi sesuatu yang bernilai lebih dan memberi manfaat ekonomi, sebagian lain belum.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Di Sragen, salah satu desa yang memiliki budaya tradisional itu adalah Gebang di Kecamatan Masaran Sragen. Desa ini berjarak sekitar 2 km dari kota Kecamatan Masaran dan dapat ditempuh dalam waktu 10 menit. Jika dihitung dari kota Kabupaten Sragen, jaraknya sekitar atau 10 km atau 30 menit perjalanan.

Penduduk di desa ini didominasi petani dan buruh tani sebanyak 1.077 keluarga atau 77,71% dari total 1.386 keluarga dengan luas lahan pertanian 224 hektare. Selain bergerak di sektor pertanian, penduduk di Gebang juga banyak yang beternak. Populasi sapi di sana ada 204 ekor milik 75 orang, ayam kampung 2.041 ekor milik 1.041 orang, dan bebek 3.040 ekor milik 152 peternak. Selain itu ada 871 ekor kambing milik 300 peternak;  121 ekor angsa milik 92 peternak, 1.010 ekor burung puyuh milik satu orang; dan 120 ekor  kelinci 120 ekor milik 30 peternak.

Penduduk Gebang didominasi kaum perempuan yang berjumlah 3.569 orang, sementara kaum laki-laki 2.115 orang. Tingkat pendidikan di Gebang paling banyak lulusan sekolah dasar (SD) atau sederajat sebanyak 988 perempuan dan 894 laki-laki. Jenjang pendidikan tertinggi warga di Gebang adalah S2 atau magister sebanyak 19 orang dan tamatan S1 sebanyak 21 orang. Angkatan kerja di Gebang sebanyak 2.764 orang dengan usia 18-56 tahun dan tingkat pendidikan lulusan SD hingga lulusan perguruan tinggi.

Solopos stories desa Gebang sragen
Gerbang masuk Desa Gebang di Kecamatan Masaran, Sragen, dari arah utara atau dari arah Kota Sragen yang dapat ditempuh dengan kendaraan sekitar 30 menit dari Kota Sragen, Sabtu (20/5/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Kondisi rumah di Gebang secara umum baik, menunjukkan tingkat perekonomian warganya pun baik. Dilihat dari dinding rumah terdapat 1.316 rumah yang berdinding tembok, 42 rumah berdinding kayu, dan 31 rumah masih berdinding bambu atau gedek. Infrastruktur desa relatif baik dan dominan jalan beraspal.

Aktivitas warga desa cukup menggeliat dengan adanya dua objek wisata yang diinisiasi warga desa. Objek wisata itu yakni Pasar Kawak di Dukuh Ngasinan Wetan dan Gua Mangkubumi di wilayah Dukuh Gebang Kota.

Menurut Ketua RW Ngasinan Wetan, Slamet, cukup banyak keunikan di Desa Gebang. Salah satunya keberadaan makam Mbah Guru yang merupakan tokoh berpengaruh dan keturunannya ada yang menjadi Gubernur Lampung, yakni Umarsono. Slamet menyebut makam yang terletak di pinggir sungai di tengah sawah itu angker.

“Makam itu masuk wilayah Dukuh Cungul. Biasanya ada orang yang sesirih atau tirakat di tempat itu untuk mencari derajat dan pangkat. Ritualnya harus tujuh kali Jumat secara berturut-turut dengan cara tirakat di sana. Tirakatnya ya hanya berdoa dan tabur bunga. Biasanya mulai pukul 19.30 WIB sampai pukul 24.00 WIB,” jelasnya saat berbincang dengan Solopos.com, Sabtu (20/5/2023).

Hidupkan Budaya Sadranan

Desa Gebang juga memiliki tradisi sadranan. Tradisi ini sebenarnya mulai memudar. Namun, warga Dukuh Ngasinan Wetan menghidupkan kembali sebagai kegiatan budaya tersebut. Tradisi sadranan di Ngasinan Wetan dilakukan di Sumur Kawak, sebuah matar air yang hingga sekarang masih ada. Lokasinya di bawah pohon asem dan beringin.

Menurut Slamet, tempat itu juga menjadi petilasan Mbah Poleksono, seorang pengembara yang kemudian menjadi cikal-bakal Dukuh Ngasinan. “Sumur kawak itu juga disebut sebagai sumber panguripan [penghidupan]. Mbah Poleksono ini punya anak namanya Sutodrono, kemudian menurunkan Sutidikromo, lalu keturunannya Sadino Sastro Purwito yang juga Mbah Bayan, dan menurunkan Mintodiharjo yang hingga kini masih hidup,” kata Slamet.

Yang memberi nama Ngasinan, sambungnya, adalah Mbah Poleksono karena dulu ada sumber air asin. Dukuh Ngasinan terbagi menjadi dua, yakni Ngasinan Wetan dan Ngasinan Kulon. Dari sadranan, warga Dukuh Ngasinan Wetan berinisiatif membuat wadah untuk melestarikan tradisi Jawa. Kemudian muncul ide membuat konsep pameran budaya Jawa zaman kawak dengan sebutan Pasar Kawak.

Pasar Kawak tidak sekadar memamerkan hasil budaya Jawa, seperti kuali, kukusan, dan aneka produk gerabah dan peralatan pertanian. Akan tetapi, ada juga atraksi budaya seperti membatik dan menganyam tikar dari daun mendong. Ada juga atraksi seni seperti reog, klenengan, gejuk lesung, dan seterusnya.

Kuliner tempo dulu pun disajikan dalam lapak-lapak warga, mulai dari gethuk, cenil, ketan, klepon, sampai teknik menggoreng kerupuk dengan pasir.

Selain Pasar Kawak, masih ada potensi budaya lain yang diinisiasi warga, yakni Gua Mangkubumi di Dukuh Gebang Kota. Ada juga peninggalan Belanda di Dukuh Gebang Loji karena ada bekas bangunan Belanda di lokasi itu. “Bahkan ada terowongan yang panjangnya 200 meter dan bisa untuk jalan orang. Lorong itu dulu sebagai tempat persembunyian,” ujarnya Slamet yang diamini Ketua Karangtaruna Tunas Muda Ngasinan Wetan, Budi Santoso.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya