Soloraya
Senin, 11 Oktober 2021 - 23:52 WIB

Mentho, Diversifikasi Pangan Boyolali di Masa Silam

Cahyadi Kurniawan  /  Haryono Wahyudiyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga mengemasi mentho yang akan dijual ke pusat oleh-oleh di Boyolali dan sekitarnya di Dukuh Karangasem, Desa Kiringan, Kecamatan Boyolali, Minggu (10/10/2021). (Solopos.com/Cahyadi Kurniawan)

Solopos.com, BOYOLALI—Makanan khas Boyolali, mentho, menjadi simbol kuatnya diversifikasi pangan pada masa silam. Mentho berbahan dasar singkong menjadi salah satu olahan dari banyak olahan singkong lainnya seperti gaplek, misalnya.

Di Solo, mentho atau lentho lazim dinikmati bersama soto seperti yang ditemui di Soto Triwindu sejak 1930-an. Di Boyolali, mentho lazim dinikmati bareng sambal tumpang. Ia juga bisa dilahap sebagai teman minum the atau kopi yang orang Jawa menyebutnya sebagai pacitan atau adu wedang.

Advertisement

Kemudahan bahan baku mentho ini menunjukkan singkong dan kacang sebagai bahan utama sering tumbuh dalam ekologi Boyolali. “Mentho membuktikan camilan lokal yang dari abad ke abad tanpa kreasi itu mampu bertahan. Yang sederhana, kuno, dan ndesa, tak selalu kalah di meja makan,” kata Sejarawan sekaligus dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, saat dihubungi Solopos.com, Senin (11/10/2021).

Baca Juga: KPU dan Kopassus Bantu Percepatan Vaksinasi di Wonogiri

Advertisement

Baca Juga: KPU dan Kopassus Bantu Percepatan Vaksinasi di Wonogiri

Kekuatan ini yang seharusnya dibaca bukan sebagai simbol kemiskinan, melainkan pada kekuatan komunitas untuk mewujudkan ketahanan pangan lokal dan variasi pangan lokal di Nusantara. Hal ini ditandai dengan kemampuan masyarakat setempat menciptakan makanan yang bersumber dari hasil panen di tegalan.

“Singkong yang biasa untuk gaplek dan kacang tanah, tak bisa dicap sebagai makanan orang miskin Justru ini harus dipahami sebagai diversifikasi pangan,” tutur Heri.

Advertisement

Baca Juga: Bayi dalam Kardus di Wonogiri Diserahkan ke Kakak Pelaku

Strategi ini di antaranya menyosialisasikan keragaman kuliner lokal dan melatih pembuatan pangan lokal seperti mentho pada generasi muda dan ibu rumahan. Kemudian, pemerintah menjaga ketersediaan lahan pertanian melalui regulasi dan mendorong regenerasi petani.

Mentho juga perlu kemasan yang bagus agar bisa menembus komunitas lintas zaman. Saat ini, kuliner Jawa menghadapi gempuran kuliner asing melalui bisnis waralaba kuliner dan industri pangan lainnya. Maka, butuh upaya menciptakan daya tarik yang lebih kuat salah satunya dari kemasan.

Advertisement

“Kuliner Jawa dibanding kuliner luar negeri itu cuma kalah di kemasan. Soal rasa gak kalah. Hanya tinggal pengemasannya,” kata pegiat kebudayaan asal Mojosongo, Boyolali, Aslar.

Baca Juga: Alhamdulillah, GTT Senior Wonogiri Akhirnya Lolos P3K

Setelah dikemas dengan baik, produk ini diberi akses pasar agar bisa menjangkau lebih luas misalnya di lokasi-lokasi wisata yang banyak dijumpai di Boyolali.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif