SOLOPOS.COM - Kirana Nur Lyansari kirana.lyansari@gmail.com Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Islam Fakultas Usuludin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Kirana Nur Lyansari  kirana.lyansari@gmail.com     Mahasiswa Program Studi  Bimbingan Konseling Islam  Fakultas Usuludin  dan Dakwah  Institut Agama Islam Negeri  Surakarta

Kirana Nur Lyansari
kirana.lyansari@gmail.com
Mahasiswa Program Studi
Bimbingan Konseling Islam
Fakultas Usuludin
dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri
Surakarta

Siapa yang tak pernah korupsi? Ini adalah pertanyaan yang menggelitik kita sebagai warga bangsa Indonesia. Hampir segala lapisan masyarakat dan pemerintahan di negeri ini tidak ada yang terlepas dari korupsi.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Ada yang mengatakan korupsi atau tidak itu tergantung pada niat (memberi uang pelicin boleh kalau niatnya bersedekah). Jika semua orang berpikir seperti ini maka integritas moral masyarakat akan turun.

Masyarakat takkan bisa membedakan mana yang korupsi dan mana yang bukan korupsi seperti penjelasan dalam buku Koruptor Go To Hell karya Bibit Samad Rianto dan Nurlis E. Meuko. Realitas demikian ini yang kita hadapi sehari-hari dan tentu inilah yang sangat disayangkan.

Masyarakat kita menganut pembenaran bukan kebenaran. Mereka mengatasnamakan penafsiran ”amalan itu tergantung niat”. Jika semua orang berpikir seperti itu, jangan salahkan orang jika berbuat kejahatan karena niatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Negeri ini memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, tapi miskin sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Miskin SDM yang berkualitas yang dimaksud secara lebih spesifik adalah miskin moral.

Mereka rela meninggalkan nilai-nilai luhur moral bangsa yang tertanam sejak generasi terdahulu hanya untuk mengikuti budaya konsumerisme. Mereka kemudian hidup dalam nafsu mementingkan kepentingan pribadi dan mengesampingkan kepentingan orang banyak.

Materialisme mendominasi kehidupan masyarakat negeri ini. Hanya sebagian kecil yang masih memikirkan dedikasi untuk negeri. Masyarakat tidak lagi menerapkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari mereka. Padahal ketidakjujuran adalah awal dari kejahatan lainnya.

Korupsi tak henti-hentinya menjadi berita di negeri tercinta kita ini. Mulai dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah. Dari para petinggi negara, menteri, sampai anggota DPR/DPRD, hingga kepala desa/lurah.

Jika struktur hukum negeri kita sudah terkena virus korupsi, bagaimana institusi yang lain? Hampir tak ada yang terlepas dari kasus korupsi. Akibat banyaknya kasus korupsi, masalah pertama belum selesai sudah ditambah dengan masalah yang lain, yang akhirnya tidak terselesaikan secara tuntas.

Kenyataan yang kita hadapi memang seperti itu. Seseorang atau warga negeri ini akan lebih mudah mengurus keperluannya jika ada uang pelicin. Ada yang mengatakan uang bukanlah segala-galanya, tetapi segala-galanya memerlukan uang. Jika seperti itu bagaimana kita harus menyikapinya?

Lembaga pemantau korupsi Transparency Internasional Indonesia (TII) menyatakan peringkat indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) Indonesia pada 2013 meningkat menjadi 114 dari 177 negara meskipun mendapatkan nilai yang sama dengan tahun lalu.

Nilai CPI Indonesia masih tetap sama bila dibandingkan tahun lalu, yaitu 32. Namun, tahun ini peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia meningkat empat peringkat karena sebelumnya menempati peringkat ke-118 dari 176 negara [Solopos, Rabu (4/12)].

Kita harus sedih, bahagia, atau bangga setelah mendengar atau membaca berita tersebut? Korupsi sebenarnya kata lebih halus dari ”mencuri”. Seorang koruptor itu juga bisa disebut sebagai pencuri. Mereka mencuri hak orang banyak untuk kepentingan sendiri.

 

Bakat

Kita jumpai bakat-bakat koruptor itu ketika menjelang pemilihan umum (pemilu). Mereka mengobral janji untuk meyakinkan masyarakat agar memilih mereka pada pemilu. Tapi, kenyataannya setelah mereka terpilih apakah mereka s memenuhi janji-janji mereka?

Para pejabat tingkat rendah yang nilai korupsi mereka kecil memperoleh uang yang tidak terlalu banyak. Mereka melakukan korupsi dalam bentuk menerima suap, menjual pengaruh, dan nepotisme.

Menjelang pemilu, para calon anggota legislatif memberikan uang dalam amplop kepada warga calon pemilih. Saya punya pengalaman hal tersebut dilakukan secara terang-terangan.

Kejadian ”membeli suara” ini sudah menjadi rahasia umum. Bahkan para calon kepala desa dalam sebuah pemilihan kepala desa sama-sama tahu jika saingannya juga membagikan uang dalam amplop. Nilai uang dalam setiap amplop bisa mencapai Rp100.000. Warga dengan senang hati menerima ”suap” untuk ”membeli suara” itu.

Masyarakat mau menerima dengan alasan butuh uang. Menurut saya, mereka kurang bisa berpikir jangka panjang. Jika saat menjadi calon anggota legislatif atau calon kepala desa saja mereka mau memberikan uang dalam jumlah yang tidak sedikit, apakah suatu saat nanti jika sudah menjabat mereka tidak akan mengembalikan uang yang mereka keluarkan?

Bila melihat kenyataan seperti ini, bagaimana bangsa kita bisa berubah jika korban dan pelaku korupsi saling mendukung? Dalam buku Kekuasaan dan Perilaku Korupsi karya Saldi Isra ada penjelasan tindak korupsi lewat kuasa lebih konstitusional di DPR sudah berlangsung berjemaah dari awal. Tidaklah salah jika kita nyatakan bahwa DPR dewasa ini adalah sponsor terkemuka dan pertama-tama dari praktik korusi berjemaah itu.

Mungkin Anda akan tersenyum membaca dan merenungkan kalimat di atas. Bisa jadi itu adalah yang terjadi di lingkungan sekitar Anda. Saya punya pengalaman ada yang pernah mengatakan nanti kalau tidak ikut-ikutan akan dimusuhi teman yang lain, bahkan posisi menjadi terancam.

Jika orang yang diberi pernyataan seperti itu tidak tegas, bisa terbawa arus dan akan terseret kasus korupsi berjemaah tersebut. Satu dengan yang lainnya saling menutupi. Jika salah satu terungkap maka yang lain akan terbongkar juga, pasti demikian.



Sejak dulu pemberantasan korupsi digalakkan. Tapi, kenyataannya sampai sekarang masih banyak yang korupsi, malah mungkin menjadi lebih banyak daripada sebelumnya.

Banyak masyarakat yang mengatakan warga negara Indonesia itu memang pintar, tapi pintar dalam urusan membodohi satu sama lain. Mengapa kepintaran itu tidak digunakan untuk menolong satu sama lain?

Memang tidak semuanya seperti itu, akan tetapi yang saya lihat di sekitar saya memang mayoritas seperti itu. Sebagai generasi muda penerus bangsa,  saya selalu bertanya: akan dibawa ke manakah masa depan bangsa kita?  Kita harus bisa mengubah realitas demikian mulai saat ini.

Alangkah sangat baik jika kita memulai dari diri sendiri. Kita mulai dengan menerapkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

Apakah kasus korupsi bisa hilang dari Indonesia atau tidak itu bukan urusan kita. Yang menjadi urusan kita adalah jangan sampai kita menjadi koruptor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya