SOLOPOS.COM - Seorang warga nyaris tergelincir di jalan yang licin seusai menjemput adiknya pulang sekolah di Kampung Tuwon, Desa Setren, Kecamatan Slogohimo, Wonogiri, Kamis (2/2/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Kampung Tuwon di Dusun Ngrapah, Desa Setren, Kecamatan Slogohimo, Wonogiri, menjadi salah satu wilayah terpencil di Wonogiri. Lokasinya nyaris terisolasi di tengah-tengah hutan dan jauh dari pemukiman warga lain.

Desa terdekat berjarak lebih dari 3 km, yaitu Desa Kembang di Kecamatan Jatipurno dan hanya ada satu akses jalan yang tidak memadai. Jalan itu berupa jalan tanah dengan lebar sekitar tiga meter.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Kondisi jalan berubah menjadi becek berlumpur saat musim hujan. Selain itu, rawan terjadi longsor sebab sisi utara jalan merupakan tebing dan sisi selatan berupa jurang. 

Dengan kondisi yang seperti itu, banyak warga di Kampung Tuwon yang akhirnya jarang keluar kampung. Mereka lebih banyak beraktivitas di dalam kampung sebagai petani dan beternak. Kondisi itu pula yang membuat mayoritas warga Kampung Tuwon tidak menempuh pendidikan menengah.

Kebanyakan warga kampung terpencil di Slogohimo, Wonogiri, itu hanya lulusan SD, paling tinggi SMP. Salah satu warga Kampung Tuwon, Jiyono, 25, mengatakan rata-rata warga Kampung Tuwon hanya menamatkan pendidikan SD atau SMP.

Banyak dari mereka yang setelah lulus SD memilih langsung bekerja baik merantau atau membantu keluarga bertani dan beternak di rumah. Hal itu sudah menjadi kultur di Kampung Tuwon sejak dulu. 

“Di sini hanya saya yang melanjutkan sekolah formal setelah lulus SMP. Saya dulu sekolah di SMK di Kecamatan Jatipurno,” kata Jiyono saat berbincang dengan Solopos.com di rumahnya, Jumat (3/2/2023). 

Pria yang akrab disapa Yono itu menjelaskan selain bekerja, mereka yang lulusan SD ada yang melanjutkan pendidikan ke pesantren tetapi hanya segelintir orang. Kakak kandung Yono yang lulusan SMP juga akhirnya mengambil pendidikan paket C, yaitu program pendidikan kesetaraan nonformal setara SMA.

Kathah-kathahe namung lulusan SD [Kebanyakan cuma lulusan SD]. Lulusan SMP ada tapi enggak banyak. Habis lulus SD, kalau merantau kebanyakan ikut orang dagang bakso atau jadi kuli bangunan. Tapi kalau di rumah ya bertani dan beternak,” ujar dia mengenai kultur warga kampung terpencil di Slogohimo, Wonogiri.

Faktor Ekonomi

Menurut Yono, para orang tua di Kampung Tuwon berpikir asal anak bisa membaca dan berhitung sudah cukup sebagai bekal hidup. Di sisi lain, akses keluar masuk kampung yang sulit juga menjadi salah satu faktor mengapa mereka memilih putus sekolah. 

Saat ini ada enam anak yang masih menempuh pendidikan SD. Empat anak sekolah di SD di Kecamatan Jatipurno dan dua anak sekolah di SD di Kecamatan Slogohimo. 

Sesepuh Kampung Tuwon, Jaiman, mengungkapkan selain faktor geografis, faktor ekonomi juga menjadi alasan orang tua tidak menyekolahkan anak sampai ke SMA. Di samping itu, anak-anak sendiri juga lebih memilih langsung bekerja alih-alih melanjutkan sekolah.

Hal itu karena mereka melihat anak-anak seusia mereka di kampung terpencil di Slogohimo, Wonogiri, itu juga sudah bekerja. Pendapat Jaiman itu dibenarkan anaknya, Agus, 25. Agus yang merupakan lulusan SMP.

Agus mengaku enggan melanjutkan pendidikan SMA karena ingin segera bekerja. Dia beralasan tidak ingin membebani orang tua dengan dia bersekolah SMA. “Kalau SMA pasti kan keluar banyak biaya, bayar sekolah, belum biaya buat beli bensin pulang-pergi. Apalagi jaraknya sekolahnya jauh,” kata Agus.

Warga Kampung Tuwon, Kasmi, mengaku bertekad menyekolahkan anaknya yang masih duduk di kelas III SD ke jenjang SMP kelak. Alasannya, karena anak itu sudah sekolah sejak TK selama dua tahun sehingga sayang jika hanya tamat SD.

Sementara anak Kasmi yang lain, yang berumur kira-kira seusia anak SMA putus sekolah saat masih SD kelas V. “Orang sini itu yang penting bisa membaca, bisa Facebookan, sudah cukup,” kata Kasmi.

Tempuh 4 Km Menuju Sekolah

Hal yang sama juga diungkapkan seorang ibu yang memiliki anak yang masih kelas I SD. Dia belum tahu apakah anak itu akan melanjutkan ke jenjang SMP atau tidak. Sebab selama ini di Kampung Tuwon yang merupakan wilayah terpencil di Slogohimo, Wonogiri, anak ketika lulus SD langsung bekerja.

“Sudah umumnya begitu kalau di sini,” ujar Asih. Pantauan Solopos.com, Kamis (2/2/203), anak-anak SD dari Kampung Tuwon bersekolah di SDN 3 Kembang.

Jarak sekolah itu dengan Kampung Tuwon lebih kurang 4 km ditempuh selama kurang dari setengah jam naik sepeda motor. Anak-anak itu biasanya itu diantar-jemput oleh keluarga ketika berangkat dan pulang sekolah. 

Saat musim hujan seperti sekarang ini, kondisi ruas jalan Kembang-Kampung Tuwon yang berupa jalan tanah becek berlumpur dan rawan terjadi longsor. Ketika Solopos.com mengikuti anak-anak itu pulang sekolah, beberapa kali kendaraan yang mereka gunakan tergelincir dan hampir terjatuh. 

Kondisi itu mereka alami setiap mereka berangkat dan pulang sekolah. Salah satu kakak anak SD yang juga sering mengantar-jemput adiknya, Aziz, mengaku sudah terbiasa dengan kondisi semacam itu.

Dia mengaku pernah terjatuh saat membawa satu adik dan satu kemenakannya pulang sekolah. “Sudah biasa, tapi ya pernah jatuh juga,” kata Aziz.

Sementara itu, data Pemerintah Kabupaten Wonogiri, pada tahun ajaran 2021/2022 tercatat ada 581 anak putus sekolah jenjang SD-SMP yang tersebar di seluruh wilayah Wonogiri. Sedangkan data Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, anak tidak sekolah usia 7-18 tahun tercatat sejumlah 6.289 orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya