Soloraya
Senin, 28 September 2020 - 11:57 WIB

Ngenes, 1.300 Buruh Batik Pilang Sragen Merana Akibat Pandemi

Muh Khodiq Duhri  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Perajin menyelesaikan kain batik di Desa Pilang, Masaran, Sragen. (Solopos-Dok.)

Solopos.com, SRAGEN -- Sebanyak 1.300 buruh batik di Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen, kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19.

Kepala Desa Pilang, Sukisno, mengatakan belum lama ini pihaknya mendata jumlah buruh batik yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan sebagai dampak terjadinya pandemi Covid-19.

Advertisement

Setelah lebih dari enam bulan terjadi pandemi, kata Sukisno, para pengusaha batik di Pilang nyaris tidak mendapatkan pendapatan.

Bapak Perkosa Anak Diamuk Massa Lalu Tewas Dikeroyok di Penjara

Advertisement

Bapak Perkosa Anak Diamuk Massa Lalu Tewas Dikeroyok di Penjara

Pasalnya, hampir semua pedagang besar yang menjadi pelanggan tetap dari sentra batik Pilang menghentikan pesanan karena stok yang mereka miliki belum laku terjual.

"Jangan tanya lagi soal dampaknya. Pokoknya luar biasa sekali dampaknya. Pasar [di Jakarta] saja tidak ada yang buka. Di tengah pandemi, sekarang masyarakat berpikir bagaimana masih bisa makan tiap hari. Jadi, kalau punya uang mending dibelanjakan keperluan makan, bukan untuk beli gombal [pakaian]," ujar Sukisno yang juga pemilik usaha batik di Pilang kepada Solopos.com, Senin (28/9/2020).

Advertisement

Harus Taat! Seperti Ini Alur Menggelar Hajatan di Karanganyar

Sebanyak 90% di antaranya sudah menghentikan kegiatan produksi karena daya beli masyarakat turun drastis selama terjadi pandemi Covid-19.

“Kemarin kami hitung jumlah buruh batik yang kehilangan pekerjaan itu sekitar 1.300 orang. Ya mau bagaimana lagi, sebagian pengusaha batik menutup usahanya. Sebagian buruh sudah bekerja sebagai pedagang di pasar. Sekitar 70% belum dapat pekerjaan lagi,” ucapnya.

Advertisement

Banting Stir Membuka Warung

Sukisno sendiri menghentikan usaha produksi batik miliknya dua bulan terakhir dan banting setir membuka warung ayam bakar.

Terpuruknya usaha batik itu tidak lepas dari mandeknya pencairan giro dari para pedagang batik di kota-kota besar seperti Jakarta.

Kampanye Paslon Peserta Pilkada Boyolali Wajib Patuhi Ini

Advertisement

Sugiyamto, pengusaha batik asal Desa Pilang menuturkan sebagian besar hasil produksi batik di Desa Pilang, Kliwonan, (Kecamatan Masaran) dan Pungsari (Kecamatan Plupuh) dipasarkan di pusat perbelanjaan Thamrin City Jakarta.

Bahkan, kata dia, 40% pemasaran batik di Thamrin City dikuasai oleh pengusaha batik asal Sragen. “Mereka banyak yang buka kios penjualan batik di sana. Begitu PSBB diberlakukan lagi, dampaknya sudah pasti mengerikan,” ujar Sugiyamto.

Sugiyamto menjelaskan hampir semua transaksi penjualan batik tidak dilakukan secara tunai, melainkan melalui cek atau giro. Akan tetapi, datangnya pandemi Covid-19 membuat proses pencairan giro tersebut mundur 3-5 bulan.

Mundurnya pencairan giro karena pasokan batik yang dikirim pengrajin kepada penjual belum laku di pasaran. Hal itu membuat perputaran uang dari hasil penjualan batik stagnan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif