SOLOPOS.COM - Pemutaran film 16 mm Kipas-Kipas Cari Angin (1989) di Lokananta Bloc, Jumat (12/1/2024). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Film lawas keluaran 1989 berjudul Kipas-Kipas Cari Angin diputar di Lokananta Bloc, Jumat (12/1/2024). Pemutaran film lawas itu atas inisiatif Indonesian Film Archivist Society (ISAF) bersama Render Digital Indonesia dan Lokananta.

Acara nonton bareng itu mengusung konsep layar tancap dengan pita seluloid 16 mm. Cara pemutaran seperti itu terbilang sudah sangat lawas, apalagi teknologi film hari ini sudah bergeser dengan cara digital.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Namun, gambar yang dihasilkan dari film 16mm memiliki kesan menonton televisi analog. Penonton dibawa ke era 1980-an.

Kipas-Kipas Cari Angin yang berdurasi 104 menit itu merupakan karya sutradara Indonesia Nya’ Abbas Akup (1932-1991). Film itu menyorot soal isu kemiskinan, perempuan, sampai susahnya cari kerja namun dikemas dengan cara yang lucu dan penuh sindiran.

Cerita film Kipas-Kipas Cari Angin mengambil latar tempat di sebuah kampung kumuh yang letaknya berdekatan dengan gedung-gedung kota. Cerita berfokus pada tokoh bernama Menuk yang diperankan oleh artis dari negeri jiran Malaysia, Raja Ema.

Menuk bernasib agak sial karena suaminya Badrun (diparankan Eeng Saptahadi) tidak kerja dan malah berkeliaran bersama cewek lain. Menuk terpaksa bekerja sebagai penjual keliling untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, tetap saja pekerjaan itu tidak banyak membantu kebutuhan dirinya dan Manuk tetap miskin, begitu juga dengan warga kampung itu.

Tidak lama kemudian warga kampung yang juga bekerja di Hotel Mewah dekat kampung, Pak Tile membawa kabar baik. Dia mengabarkan ada lowongan tenaga kerja wanita (TKW) untuk dikirim ke Timur Tengah dan Jepang.

Sebelum diberangkatkan harus ada semacam kontes kecantikan terlebih dahulu yang diselenggarakan oleh Bambang Aksoro (diperankan Mathias Muchus). Tetapi, ada kedok buruk di balik kontes kecantikan itu, Bambang bersama pamannya Polat (diperankan Didi Petet) hanya ingin memuaskan nafsunya.

Sudah menjadi ciri khas Abbas membuat film komedi yang penuh dengan satir. Komedi ‘jorok’ dengan menampilkan adegan-adegan genit juga menjadi pembeda film era itu dengan sekarang. Meski khusus di karya Abbas Akup, itu memperkuat sindiran lantaran pada masa itu posisi perempuan yang dianggap hanya sebagai objek seksual semata.

Kepala Program ISAF, Andika Wahyu, 26, mengatakan dia sengaja memilih karya Abbas Akup untuk pemutaran lantaran muatannya yang unik yakni komedi satir. Selain itu dirinya juga ingin memperkenalkan sutradara kelahiran Malang kepada publik.

“Menurutku film ini kerap menyinggung kondisi sosial-politik saat itu. Bagaimana perempuan diperlakukan saat itu. Mungkin orang-orang ngiranya kok perempuan jadi objek di film ini, cuma itu menggambarkan persepsi masyarakat waktu itu,” kata dia ketika ditemui selepas pemutaran, Jumat.

Dia mengatakan memang perlu pemahaman lebih mengenai kondisi masyarakat era 1980-an untuk memahami konteks komedi yang dihadirkan Abbas Akup di film tersebut. Walaupun dibuat dengan mengikuti selera pasar, menurut dia, film tersebut memiliki sudut pandang yang sangat kritis.

“Cuma karena rezim [Orde Baru] saat itu cukup ketat dalam hal kritik, para kreator film mengakalinya dengan cara seperti itu, komedi yang satir. Mungkin masa itu komedi satir semua,” kata dia.

Pengalaman unik menonton film 16 mm dirasa oleh penikmat film asal Klaten, Yosef Bergas Rosarianto, 20. Ini merupakan pengalaman kali pertama baginya menonton film jadul dengan alat yang jadul pula.

“Ini sebenarnya pengalaman pertama nonton layar tancap 16 mm, jadi cukup terkesan sih. Ini pengalaman menarik bagi aku,” kata dia. Meski merupakan film lawas, dia mengaku masih mengenali beberapa pemeran seperti Didi Petet dan Deddy Mizwar.

Mahasiswa Film ISI Yogyakarta itu mengatakan menjadi memahami konteks sosial pada masa ketika film itu diproduksi. Menurut dia, adegan vulgar di film tersebut tidak mungkin ditemukan sekarang.

“Karena akhirnya menurutku film merupakan produk kebudayaan gitu. Apa yang tercermin di dalam film itu iya gambaran kebudayaan di masa lampau. Akhirnya kita bisa membaca dan mengetahui masa lalu lewat film,” kata dia.

Setelah menonton film lawas tersebut, dia mengaku mulai memiliki kesadaran tentang pentingnya digitalisasi film lawas. Apalagi film-film itu merekam sejarah masa lalu dan memiliki muatan yang kaya informasi.

Sebagai mahasiswa Film, dia menjadi ingin mendalami film-film lama. Namun sayangnya, dia sendiri kesulitan mengakses film di masa lalu lantaran belum ada arsip yang rapi dan mudah diakses oleh publik.

“Pemutaran ini bisa menjadi jembatan agar kita bisa lebih banyak mengakses film-film lawas melalui pengarsipan itu. Aku rasa sudah selayaknya film-film lawas itu diarsipkan dan mudah diakses, biar kita sebagai penonton belajar memahami film lawas itu bagaimana. Dan itu bisa menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran lebih lanjut,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya