SOLOPOS.COM - Oleh-oleh khas balung kethek bikinan Jumiyanti, 41, di Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, Selasa (11/4/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com Stories

Solopos.com, BOYOLALI — Camilan bernama balung kethek yang berasal dari olahan singkong saat ini menjadi oleh-oleh khas Simo, Boyolali, setelah dikembangkan oleh warga setempat sejak beberapa tahun lalu.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Meski sulit untuk memastikan apakah sejarah balung kethek benar-benar berasal dari Boyolali, keberhasilan usaha Jumiyanti, warga Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, mengembangkan balung kethek menjadi oleh-oleh khas daerah setempat menjadi bukti kreativitas masyarakat dalam mengolah makanan dari bahan yang ada di alam.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menuturkan tidak ada catatan terkait sejarah maupun sejak kapan mulai ada makanan bernama balung kethek di Soloraya. Bahkan, catatan balung kethek dalam Serat Centhini pun tak ditemukan.

“Padahal Serat Centhini itu kaya sekali informasi makanan, sayuran, camilan, minuman, dan lain sebagainya,” ujar Heri saat dihubungi Solopos.com, Selasa (11/4/2023).

Akan tetapi, ia mengatakan adaya balung kethek menjadi bukti bahwa masyarakat petani mampu menaklukkan alam dan mengolah apa yang dihasilkan alam menjadi berbagai jenis makanan. Dari singkong saja, tutur dia, masyarakat petani sejak zaman dahulu bisa mengolah menjadi balung kethek, tiwul, dan lain-lain.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan sebenarnya balung kethek adalah makanan umum yang ditemukan di banyak daerah di Soloraya. Sehingga ketika harus menentukan makanan tersebut khas mana, tentu akan kesulitan.

“Dari aspek bahan, menariknya di sini, kalau itu klaim Boyolali, di Sukoharjo juga ada. Apalagi di Wonogiri, itu mudah dibuat karena balung kethek berasal dari singkong [singkong banyak ditemukan di Wonogiri],” jelasnya.

balung kethek
Beberapa karyawan Jumiyanti, 41, mengiris singkong yang telah direbus untuk dibuat balung kethek di Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, Selasa (11/4/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Walaupun tak bisa memastikan asalnya, akan tetapi penulis buku Keplek Ilat tersebut menyatakan bahan pembuatan balung kethek memang mudah ditemukan di daerah Soloraya yang memiliki ekologi pategalan atau ladang. Sehingga, menurut Heri, logis saja ketika diklaim salah satu daerah, termasuk Boyolali.

Akan tetapi, ia mengatakan jika balung kethek dikatakan khas Solo, kurang pas karena dari pencarian bahan baku saja sebenarnya kesulitan. Kecuali, bahan didatangkan dari daerah ekologi pategalan di sekitarnya.

Kebiasaan Penamaan Masyarakat Jawa

Namun, menurutnya, balung kethek menjadi dikenal luas karena dipasarkan di Solo. “Seperti halnya nasi liwet yang berasal dari Sukoharjo, tapi dijual di Solo terus dijadikan makanan khas Solo. Padahal secara produksi asal muasalnya dari Sukoharjo,” kata dia.

Lebih lanjut, terkait asal usul nama balung kethek pun sulit ditentukan. Yang jelas, Heri menjelaskan penamaan balung kethek tak ada hubungannya dengan hewan kethek atau monyet.

Heri mengungkapkan sejak dulu orang Jawa punya kecenderungan tidak ingin ribet ketika memberikan nama pada sesuatu. Disinggung terkait asal usul penamaan bakul kethek karena makanan itu keras sehingga membuat orang yang memakannya nyengir seperti monyet, Heri tak membenarkannya.

“Dalam penamaan itu, orang Jawa mempunyai kebiasaan penamaan yang tidak ribet, yang gampang. Dia namakan sambil berimajinasi bentuknya apa, seperti balung kethek karena dipotong kecil-kecil, tipis,” jelasnya.

balung kethek
Beberapa karyawan Jumiyanti, 41, mengiris singkong yang telah direbus untuk dibuat balung kethek di Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, Selasa (11/4/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Dari pantauan Solopos.com di tempat usaha pembuatan balung kethek milik Jumiyanti di Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, balung kethek dibuat dari singkong yang setelah dikupas lalu direbus/dikukus dan dipotong kecil-kecil dan tipis.

Setelah itu potongan singkong itu dikeringkan dengan cara dijemur. Sampai di sini, balung kethek mentah bisa disimpan hingga berbulan-bulan. Untuk bisa dimakan, balung kethek yang sudah kering itu digoreng kemudian diberi perasa sesuai selera.

Ada rasa asin, manis, pedas, atau kombinasi dari rasa-rasa itu. Jumiyanti memproduksi balung kethek untuk dijual sebagai oleh-oleh sejak 2015. Balung kethek yang diproduksi Jumiyanti laris manis terutama menjelang Lebaran.

Memberdayakan Masyarakat

Jumiyanti mengaku terjun ke usaha pembuatan balung kethek itu tidak sengaja. Ia sebelumnya pernah menjadi buruh pabrik di Jakarta pada 2003-2006. Ia merantau ke Jakarta bersama sang suami yang asli Simo.

Kemudian, mereka pulang ke Blimbing, Temon, Simo, pada 2008. Sang suami langsung bekerja mengajar di salah satu SMK swasta di Simo. Namun, ia yang belum mendapatkan pekerjaan menjadi ibu rumah tangga.

Pada tahun itu, ia memikirkan cara untuk tidak hanya berdiam diri di rumah. Beberapa percobaan seperti berbisnis sale pisang, keripik jamur, dan lain-lain. Akan tetapi, Jumiyanti mengalami kendala yaitu mahalnya bahan baku dan harga yang kurang ramah di kantong masyarakat. Sehingga, ia gagal dan tak melanjutkan berbisnis.

balung kethek
Jumiyanti, 41, menjemur singkong yang telah direbus dan diiris-iris untuk dibuat balung kethek di belakang rumahnya, Blimbing, Temon, Simo, Boyolali, Selasa (11/4/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Lalu, pada 2015 ia mendapati mertuanya memiliki banyak singkong dan berpikir akan diapakan singkong yang berlimpah tersebut. “Terus kepikiran dibuat balung kethek. Jadi berkembang itu perjalanannya panjang, itu saya ikut-ikut pembimbingan dari dinas, kecamatan, dari mana saja. Terus ke mana-mana saya bawa, saya promosikan, enggak malu,” kata perempuan 41 tahun tersebut.

Jumiyanti tak hanya sukses menjadikan balung kethek sebagai oleh-oleh dengan omzet per bulan mencapai belasan juta rupiah. Ia juga berhasil memberdayakan ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar rumahnya. Beberapa ibu rumah tangga di lingkungan sekitar ia pekerjakan sebagai karyawan.

“Alhamdulillah, untuk jelang Lebaran ini mengalami kenaikan mulai pekan kedua Ramadan. Hari biasa begitu sehari 3.000-4.000 bungkus terjual, saat ini sudah 6.000 pesanan,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com di rumahnya, Selasa (11/4/2023).

Ia mengungkapkan pada bulan biasa, ia meraup omzet Rp15 juta-Rp16 juta sebulan. Namun, jelang Lebaran ini bisa mencapai lebih dari Rp24 juta.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya