Soloraya
Selasa, 26 Oktober 2010 - 04:46 WIB

Pada fosil mereka bergantung...

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Rumah pria ini sederhana, khas rumah kawasan pinggiran, Dukuh Ngampon, RT 7 Desa Krikilan. Dinding dari anyaman bambu yang dipadu dengan papan kayu melindungi rumah Sartono dari terpaan angin dan hujan.

Di samping rumah sederhana yang berjarak hanya ratusan meter dari Museum Sangiran itu, beberapa batu dengan bentuk tak beraturan tergeletak bagai tak bertuan. Warnanya macam-macam, ada putih dengan semburat hitam, putih tulang dengan sedikit warna abu-abu, ada pula kuning keemasan. Satu hal yang membedakan batu-batu itu dengan batu pada umumnya, adalah bentuk serat yang terlihat menonjol.

Advertisement

“Anak kecil di desa ini juga tahu ini adalah potongan fosil. Tapi yang begini ini, tidak laku dibawa ke museum. Terlalu tak beraturan, tak berbentuk. Padahal di tangan warga, ini bisa jadi macam-macam barang kerajinan yang bisa dijual,” ungkap Sartono, saat berbincang dengan Espos, di kediamannya, Senin (25/10).

Bagi orang awam, besar kemungkinan, tidak tahu mana batu dan mana fosil. Espos yang melihat sendiri potongan fosil itu pun hanya bisa berdecak kagum. Tak ada yang beda dari batu-batu tersebut, selain serat-serat yang terlihat di semua bagian. Besar di lingkungan yang dekat dengan situs bersejarah, Sangiran, memang membuat Sartono hafal ciri-ciri fosil. Hal itu pula yang membawa dia menemukan sebuah fosil kepala banteng purba yang nyaris utuh di lahan pertanian Dukuh Pondok, desa setempat.

Selasa (19/10) lalu, Sartono menyerahkan fosil kepala banteng yang ditemukan ke Balai Penelitian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran. Sebelumnya, dia mengaku melihat ujung kepala banteng menyembul di antara longsoran tanah tebing di tegalan, saat tengah mencari rumput. Selain kepala banteng, dia juga menjumpai sejumlah potongan fosil. Potongan-potongan kecil tersebut sebagian dibiarkan di lokasi dan sebagian lain, dengan ukuran lebih besar, dibawa pulang. “Saya dan kebanyakan warga sebenarnya bisa membuat fosil kecil-kecil ini jadi kerajinan, patung, topeng atau kalung dan perhiasan. Tapi katanya itu salah, melanggar undang-undang,” keluh dia.

Advertisement

Tidak bisa dipungkiri, hampir separuh warga Desa Krikilan pernah menemukan fosil, baik berukuran kecil ataupun utuh. Karena telah terbiasa melihat, mereka pun akhirnya piawai membuat barang serupa, dari bahan fosil ataupun batu pada umumnya. Mereka juga terampil meniru bentuk-bentuk fosil manusia atau hewan purba yang kerap mereka amati di museum.

Sartono sebenarnya berharap pihak BPSMP Sangiran memperhatikan hal tersebut. Fosil bagi warga, kata dia, nyaris menjadi sandaran hidup, disamping budidaya pertanian yang dinilainya tak bisa optimal lantaran terkendala kondisi alam. “Kalau bergantung pada lahan pertanian warga dapat apa. Tanah di sini gersang, yang tumbuh paling hanya kacang atau jagung. Itupun kalau musim hujan,” imbuhnya.

Sekretaris Desa (Sekdes) Krikilan, Sukiyo juga mengakui membuat souvenir bagi beberapa warga di desanya telah menjadi mata pekerjaan utama. Di Krikilan, terangnya, hampir seluruh lahan pertanian berupa tegalan, sehingga hanya mampu ditanami palawija. Untuk dapat bertahan hidup di lahan yang gersang seperti itu, warga harus kratif. Beruntung kawasan Sangiran memiliki jenis batu yang kaya serat, sehingga banyak diminati penggemar souvenir. Hal itu memancing lahirnya puluhan pedagang dan pengrajin souvenir.

Advertisement

“Sudah nyata buktinya, belum lama ini kami ikut pameran di Jepara. Warga kami, terutama di Dukuh Sangiran, memang tidak bisa lepas dari membuat souvenir. Batu kapak, patung, topeng, asbak, atau tasbih, hasilnya. Banyak yang dijual di Pasar Triwindu dan Pasar Cenderamata, Solo,” paparnya.

tsa

Advertisement
Kata Kunci : Fosil Sragen
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif