SOLOPOS.COM - Pagoda Mojosongo Solo (Dok/JIBI/SOLOPOS)

Pagoda Mojosongo Solo (Dok/JIBI/SOLOPOS)

Heri Priyatmoko (Dok/JIBI/SOLOPOS)

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

SOLO—Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko mempunyai penilaian sendiri terkait keberadaan pagoda di kampus ISI Mojosongo Solo. Menurutnya, keberadaan pagoda merupakan bukti eksistensi komunitas Tionghoa di Solo.

Kepada Solopos.com, Rabu (19/6/2013), Heri mengatakan bangunan pagoda yang masuk wilayah Mojosongo dahulu merupakan kekuasaan pemerintahan Pura Mangkunegaran. Menurutnya, dalam tata ruang kerajaan maupunb batas-batas kota kolonial yang ditetapkan tahun 1887, Mojosongo merupakan daerah yang tak tersentuh.

“Daerah tak terurus dan terjadi pembiaran. Secara topografis, tanah di Mojosongo tandus lebih tinggi dibanding kawasan lain dan lebih cukup. Dulunya daerah ini juga tak cukup menghasilkan produk pertanian. Tak ayal lagi daerah ini menjadi bukan area penting bagi penguasa,” ujarnya.

Dengan melihat realitas tersebut, kata dia, wajar bila kemudian Mojosongo dipandang sebagai ruang terpendil dan jauh dari permukiman. “Dan menjadi logis bila kawasan itu saat itu dipakai sebagai permakaman warga Tionghoa. Sangat jarang sekali bong atau kuburan bagi warga Tiongjoa ditempatkan di dalam kota atau sekitar Pasar Gede,” katanya.

Hery mengatakan pagoda tersebut sengata didirikan oleh komunitas Tionghoa untuk kepentingan yang berkaitan dengan kematian dan mempunyai nilai sakral. Sebagaimana diketahui, jelasnya, jumlah warga Tionghoa di Solo pada tahun 1900-an sudah menjadi 5.129 jiwa, lima tahun kemudian bertambah menjadi 6.532 jiwa.

Dilihat dari jumlah tersebut ini berarti mereka memerlukan sebuah area yang luas dan terpencil yang berkaitan dengan kematian. “Jadi pagoda itu kental dengan eksistensi kelompok Tionghoa di Solo. Kurang masuk akal bila dikaitkan dengan bangunan kerajaan atau Belanda. Ini juga bisa dilihat dari analisas arsitekturnya,” pungkas Hery.

Sebelumnya diberitakan, bangunan pagoda di kawasan kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Mojosongo diduga kuat merupakan peninggalan abad ke-19. Kabid Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya, Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Solo, Mufti Rahardjo mengatakan pagoda tersebut merupakan bagian tata kota tahun 1850-an.

Mufti yang juga budayawan Solo itu mengatakan bangunan pagoda itu tak bisa dilepaskan dari tata pemerintahan waktu itu. “Dalam kosmologi Jawa itu ada Untaralaya-Daksinoloyo-Purwoloyo-Pracimaloyo,” jelasnya ketika dihubungi Solopos.com, Rabu (19/6/2013).

Mufti mengtakan Untoroloyo merupakan permakaman yang berada di kawasan utara Solo. Sementara Daksinoloyo berada di daerah selatan yakni di kawasan Danyung, Gedangan, Solobaru, Sukoharjo. Sementara Purwoloyo berada di timur tepatnya di kawasan Jebres, Solo sedangkan Pracimaloyo berada di barat yakni di Makamhaji Solo.

Permakaman-permakaman tersebut diperuntukkkan bagi warga pribumi. Sementara pada masa itu pemerintahan Keraton Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) dan Mangkunegaran menempatan permakaman warga mancanagari dalam hal ini warga Eropa (Belanda, Spanyol, Portugis, Prancis) dan Tionghoa di kawasan timur laut. Kawasan ini meliputi kawasan Mipitan, sekitar UNS Jebres Solo dan Mojosongo.

“Pagoda tersebut bagian dari permakaman atau tetenger permakaman warga mancanagari,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya