SOLOPOS.COM - Pameran lukisan Arus Terowongan oleh Kelompok Bumi Manusia di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Senin-Jumat (19-23/2/2024). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Narasi kritik dan perlawanan ditampilkan oleh kelompok Bumi Manusia melalui pameran seni rupa di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Senin-Jumat (19-23/2/2024).

Terdapat puluhan lukisan yang dipamerkan karya belasan seniman dari Solo, Jogja, Jakarta, Jogja, Sukabumi, Tangerang,  Maluku, sampai Bali. Salah satu seniman dan inisiator acara, Choiri menjelaskan ini merupakan pameran lanjutan yang pernah digelar 2019 silam.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Bagi pria asal Solo itu, pameran tersebut merupakan refleksi sekaligus kritik untuk pemerintah yang berkuasa selama lima tahun.

“Memang karyanya harus kritik, kalau tidak kritik jangan masuk sini,” kata dia ketika ditemui Solopos.com di Galeri Seni Rupa TBJT Solo, Senin. Baginya media kritik tidak hanya lewat aksi demonstrasi, namun juga karya seni melalui visual dua dimensi dan tiga dimensi.

Apalagi Choiri pernah menjadi mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo pada 1990 silam. Baginya pada masa itu mahasiswa selalu diajarkan untuk kritis terhadap status quo. Latar belakangnya sebagai aktivis mahasiswa, juga mempengaruhi hasil karya Choiri.

Sebagai aktivis mahasiswa sewaktu pemerintahan Orde Baru (Orba) masih eksis, dia sering ikut turun ke jalan untuk memprotes kebijakan Presiden Soeharto. Puncaknya pada 1998, meski tidak lagi sebagai mahasiswa dia tetap mengikuti serangkaian aksi di berbagai kota.

Apa yang dia lihat waktu itu mempengaruhi visual yang dihasilkan dalam karyanya. Objek seperti sepatu, kawat berduri, sampai pistol hampir selalu ada di setiap lukisan yang dipamerkan di TBJT itu.

Namun, bukan berarti dalam karya-karyanya hanya dilukiskan kasus masa lalu. Lebih spesifik Choiri menjelaskan karya yang dibuat dan dipamerkan itu merupakan refleksi pemerintahan Joko Widodo selama dua periode atau sepuluh tahun belakangan. 

“Yang disorot itu sepuluh tahun belakangan, soal-soal demokrasi, hukum, dan politik. Termasuk peristiwa atau kasus yang tidak selesai,” kata dia.

Peristiwa atau kasus yang dimaksud Choiri tergambar dalam karya tiga dimensi yang berjudul Brangus (2024) dengan media Instalasi. Di karya itu Choiri membuat replika berbentuk manusia yang digantung dengan tali. Gambaran itu merepresentasikan rakyat.

Di bawah replikasi itu ada berserakan tanah cokelat dan bebatuan kecil yang merepresentasikan tempat tinggal milik rakyat. Lalu di atas tanah berserakan kertas dengan tulisan rentetan kasus yang terjadi sepuluh tahun terakhir seperti Gunung Kendeng, PT RUM pencemaran, Kanjuruhan, KM 50 FPI, Rempang, dan Wadas.

“Ini memang kasus-kasus yang belum selesai, yang terbengkalai, yang mangkrak aku tulis semua,” kata dia.

Narasi serupa juga disampaikan melalui lukisan dengan judul Terbelenggu (2024). Lukisan dengan panjang enam meter itu juga menggambarkan kasus-kasus yang belum selesai.

Choiri juga melukis yang menyimbolkan kekerasan seperti pistol, peluru, sampai kawat berduri. Lalu ada gambar wajah penyair Wiji Thukul dan di sudut terdapat tulisan Kanjuruhan.

“Ini [lukisan Terbelenggu] juga sama, banyak bercerita tentang kasus pelanggaran yang belum selesai. Makanya itu ada tokoh Wiji Thukul yang sampai sekarang belum jelas. Ini juga ada kawat berduri, bahwa rakyat ke mana-mana terhalangi kawat berduri,” kata dia.

Selain pameran, Kelompok Bumi Manusia juga menghadirkan pentas lain seperti musik, tari, wayang dan lainnya. Pertunjukan seni yang menampilkan belasan seniman tersebut berlangsung lima hari dari Senin-Jumat (19-23/2/2024).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya