SOLOPOS.COM - Suasana di salah satu besalen di Dukuh Ngledok RT 002/RW 003 Desa Segaran, Delanggu, Kamis (8/6/2017).  (Cahyadi Kurniawan)

Pandai besi di Desa Segaran, Delanggu, pernah berjaya di era 1980-1990-an kini terpinggirkan

Solopos.com, SOLO—Keberadaan besalen atau bengkel pandai besi kian terpinggirkan di Desa Segaran. Kehadiran mesin tempa untuk membuat sejumlah peralatan seperti bendo, arit, dan cangkul diduga mengakibatkan makin sepinya usaha pandai besi. Mesin tempa lebih praktis dan mampu menghasilkan produk yang lebih unggul baik secara kualitas maupun kuantitas.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Di Segaran terdapat satu unit mesin tempa yang beroperasi. Mesin itu dioperasikan tiga orang dan mampu menggantikan sedikitnya 15 orang tenaga kerja. Kualitasnya pun lebih baik dibandingkan dengan buatan tangan.

“Muda-mudi di sini juga banyak yang lebih suka bekerja di pabrik. Akhirnya, besalen pun kesulitan tenaga kerja,” kata Munadi, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Desa Segaran, saat ditemui Solopos.com di kantornya, Rabu (7/6/2017).

Menurut Munadi, Segaran dahulu memiliki 50 lebih besalen atau bengkel pandai besi dengan karyawan mencapai 12-15 orang. Kini, jumlah yang tersisa sekitar 20 besalen dengan mempekerjakan 6-8 karyawan. “Itu pun produksinya sepasar sekali atau lima hari sekali. Kalau dulu, ketika kecil, bapak saya pandai besi di rumah tiga hari dan di pasar dua hari. Sekarang turun,” kenang dia.

Kejayaan besalen di Desa Segaran terjadi pada periode 1980-1990-an. Saat itu, hampir setiap rumah mempunyai bengkel pandai besi. Tenaga kerjanya didatangkan dari luar daerah. Warga memasarkan produknya hingga ke luar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

“Tapi ongkos transportasi terus meningkat, akhir-akhir ini tidak ada yang ke luar Jawa. Di sana juga ada pandai besi.  Orang-orang Bali yang transmigrasi ke Sulawesi, misalnya, juga jadi pandai besi,” terang Munadi.

Munadi menerangkan keberadaan pandai besi di wilayahnya tengah dalam masa transisi di mana tenaga manusia perlahan bakal digantikan oleh mesin. Untuk menggairahkan kembali pandai besi, ia pun mendatangkan mesin tempa. “Ke depan, kami upayakan untuk pengadaan mesin tempa lagi di sini sebab di sini sulit mendapatkan tenaga kerja untuk menjalankan usaha ini,” terang dia.

Salah satu pandai besi yang masih bertahan, Beni Setiawan, mengatakan sabit produksinya dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan lokal seperti Cawas, Pedan, Kartasura, Cepogo, dan lainnya. Sabit dijual kepada tengkulak mulai dari Rp700.000-Rp800.000 per kodi. “Produksinya pun enggak setiap hari,” kata Beni, saat ditemui di tempat kerjanya, Rabu.

Dia mengakui kondisi pasar produknya sedang lesu. Ia pun hanya memproduksi sabit setiap pasaran Wage. Jumlah produk yang dibuat pun tak bisa ditentukan. “Apalagi namanya hidup di kampung. Kalau ada tetangga hajatan, kami juga tutup,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya