SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO—Putri Cempo harus bekerja setiap hari, tujuh hari dalam sepekan. Dia tak kenal libur akhir pekan, libur Hari Natal, libur Hari Lebaran, Tahun Baru, serta tanggal merah hari-hari perayaan lainnya. Semenjak dia ada, 1987 silam, rumahnya selalu terbuka.

“Seandainya Putri Cempo libur, satu hari saja, Kota Solo akan penuh sampah. Putri Cempo tidak mungkin libur,” kata petugas pencatat keluar-masuk kendaraan pengangkut sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Jebres, Solo, Widodo, Minggu (29/1/2023).

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 09.00 WIB dan menurut Widodo Putri Cempo pada hari Minggu selalu relatif lebih sepi dibandingkan hari lain karena tak ada antrean kendaraan pengangkut sampah yang panjangnya hingga ratusan meter, memanjang ke selatan atau hingga permukiman penduduk.

Namun, meskipun tak ada antrean seperti kata Widodo, kendaraan pengangkut sampah terus berdatangan pada hari itu, nyaris tanpa jeda.

Suasana TPA Putri Cempo Minggu mirip dengan Terminal Tirtonadi sehingga pada hari aktif saya bayangkan kondisi tempat tersebut tak ubahnya seperti terminal ketika Lebaran tiba. Riuh dan hiruk pikuk.

Pagi itu, contohnya. Puluhan sopir truk sampah dan gerobak motor datang bergantian. Mereka selalu menyapa Widodo tepat dari balik jendela kantornya.

Yang berbeda dengan Terminal Tirtonadi hanyalah gunungan sampah yang tingginya hampir 20 meter di bagian utara TPA, tempat ratusan pemulung dan sapi berkumpul – mewakili begitu kerasnya Putri Cempo bekerja hingga akhirnya overload sejak 2010 lalu.

Gunungan sampah itu membuat saya teringat pada jurnal yang diterbitkan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) berjudul Analisis Potensi Daya Listrik Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Kawasan TPA Putri Cempo Solo. Jurnal itu menyebut pertambahan sampah per tahun di Putri Cempo adalah 2,81%. Dengan penambahan itu, akan ada total 3.069.903 ton sampah yang menggunung di TPA Putri Cempo pada 2038 apabila tidak dikelola secara benar.

Berbasis pada kemungkinan itu, Pemkot Solo mulai mengambil tindakan. Menurut rencana, timbunan sampah yang usianya tahunan ini plus sampah baru akan diolah menjadi listrik dalam proyek Pembangunan Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang bakal dikelola PT Surya Citra Metro Plasma Power (SCMPP) selaku pemenang lelang.

Pembangunan konstruksi PLTSa ini menurut rencana berlangsung dalam dua tahap melalui skema kerja sama dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), seperti yang disampaikan Direktur Utama (Dirut) PT SCMPP Erlan Syuherlan dalam laman jatengprov.go.id yang diakses Sabtu (11/2/2023).

“Kami butuh dana sekitar US$53 juta [sekitar Rp880 miliar] untuk mendirikan konstruksi PLTSa dalam dua tahap. Yang US$23 juta untuk tahap pertama dan yang sebesar US$35 untuk tahap berikutnya. PJBL [perjanjian jual beli listrik dengan PLN pada 2018] adalah salah satu syarat administrasi bagi kami untuk mengajukan pinjaman kepada lembaga pembiayaan,” ungkap Erlan.

Didukung Pemkot Solo dan pemerintah pusat, PT SCMPP akhirnya sepakat memilih PT SMI yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai investor. “[Ada] Penawaran dari tiga lembaga dan sebenarnya kurang lebih sama. Tapi berdasarkan beberapa pertimbangan, akhirnya kami pilih PT Sarana Multi Infrastruktur,” kata Erlan lagi.

Berdasarkan kesepakatan, PLTSa tahap pertama diproyeksikan mampu memproduksi listrik sebesar 5 Megawatt (MW) per jam. Paradoks itu dimulai dari 2018 ini.

Infografis PLTSA (solopos/Whisnupaksa)
Infografis : Whisnupaksa

Paradoks pertama, menurut pegiat lingkungan hidup dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Abdul Ghofar, berkaitan dengan tidak adanya tipping fee sebagai bagian dari keuntungan investor. Tipping fee merupakan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk investor atas jasa pengelolaan sampah. Besarannya macam-macam, sebagai contoh Rp300.000-Rp500.000 per ton.

Tipping fee selalu diterapkan dalam kerja sama semacam ini dan alasan ini pulalah yang membuat Pemprov Bali membatalkan proyek PLTSa lantaran tak punya dana cukup.

Kedua terkait kebutuhan sampah untuk menghasilkan listrik yang menurut rencana awal sebesar 10 MW, namun dalam perjalanannya menjadi tinggal separuhnya pada tahap awal. Dengan penghitungan 10 MW tanpa tipping fee, Walhi menghitung pendapatan dari penjualan listrik hanya sebesar Rp210 miliar (@13,35 sen dollar/kWH sama dengan Rp2.400 maka 1.000 kW x 24 jam x 365 hari x Rp2.400 = Rp210 miliar).

“Bagaimana jika itu hanya separuhnya? Seberapa besar keuntungan dengan perjanjian kerja sama selama 30 tahun?”

Ketiga soal kebutuhan sampah untuk bahan bakar. PLTSa membutuhkan banyak sekali sampah yang bertentangan dengan konsep zero waste yang kini justru digaungkan Dinas Lingkungan Hidup Solo lewat bank sampah serta Pemerintah Kecamatan Banjarsari melalui Program Paksa Pilah Sampah dari Rumah (Papi Sarimah).

Menurut catatan Pemkot, PLTSa nantinya butuh setidaknya 389 ton sampah per hari sementara ketersediaan TPA Putri Cempo rata-rata hanya 300 ton-350 ton hari. Kekurangan ini, menurut DLH, akan dicarikan dari kabupaten sekitar, seperti Klaten, Sukoharjo, hingga Karanganyar. Pemkot Solo hendak mengimpor sampah.

“Lalu ini juga belum memikirkan dampak lain, seperti penurunan kualitas udara ambience dan kebisingan pada saat pembangunan maupun ketika PLTSa berjalan. Persoalan lain terkait nasib 250-an pemulung yang menggantungkan hidup mereka di sana. Bagaimana lantas nasib mereka?” tanya Ghofar.

“Lagi pula ada apa sih sebenarnya dengan proyek yang harusnya mulai berjalan 2018 ini? Kenapa sampai empat tahun berjalan belum juga beroperasi dan malah selalu ditunda di setiap tahunnya?” tanya dia lagi.

Warsini, 44, pemulung di TPA Putri Cempo, menggelengkan-gelengkan kepalanya. “Saya tidak tahu. Banyak yang saya tidak tahu. Kenapa proyek listrik ini tidak segera jalan dan bagaimana lantas nasib kami nantinya,” kata dia kepada saya, Minggu itu.

Warsini adalah salah satu pemulung terlama di Putri Cempo. Dia ada di Putri Cempo semenjak anak pertamanya lahir dan sekarang sudah menikah. Warsini mengais sampah semenjak pemulung di TPA hanya 80-an orang hingga sekarang membengkak menjadi 250 orang lebih.

“Pandemi memang membuat TPA makin ramai. Kebanyakan pemulung di sini perempuan seperti saya, ya mungkin separuh lebih. TPA ini bisa kami andalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Rp30.000 per hari itu kan sangat lumayan plus tabungan sampah plastik botol yang kalau kami jual harganya Rp350.000 per pekan dari pengepul,” kata dia yang masih punya dua anak usia sekolah ini.

Tepat di samping mesin pengolah sampah, di tengah tumpukan sampah plastik Warsini berdoa proyek PLTSa tak segera berjalan. Dia berdoa setiap hari. “Lihat itu mesinnya, sudah siap kan. Tapi, selama ini memang belum jalan. Saya berdoa listrik ini ditunda selamanya karena dengan usia saya sekarang, di mana lagi saya bisa bekerja kalau tidak di sini,” kata dia.

Namun, PLTSa tidak ditunda selamanya. Begitulah yang dikatakan Kepala DLH Ana Nugroho pada akhir 2022 lalu. Saat itu, Ana mengakui operasional PLTSa yang rencananya dimulai pada Desember 2022 terpaksa ditunda lagi untuk kesekian kalinya.

“Memang belum bisa beroperasi pada Desember karena akan proses mendapatkan Sertifikat Laik Operasi [SLO] dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM]. Kalau sudah mendapatkan sertifikat itu baru bisa operasi,” ujarnya, Rabu (14/11/2022).

Perihal kapan PLTSa Putri Cempo bisa dioperasikan, Ana berharap paling tidak pada pertengahan 2023. Sebab, saat ini, semua alat operasional PLTSa Putri Cempo Solo sudah terpasang.

Di tengah tarik ulur operasional PLTSa Putri Cempo pada tingkat kota, Kecamatan Banjarsari, Solo, justru punya cara sendiri dalam mengelola sampah di wilayah mereka. Ide awal masyarakat di sana adalah mengurangi beban TPA Putri Cempo hingga kemudian lahir sebuah konsep pengelolaan sampah berkelanjutan. Program idealis itu mereka mulai pada awal 2022 lalu.

Cerita dari Banjarsari

Beni Supartono Putro baru saja kembali dari Kota Semarang, Jumat (3/2/2023). Camat Banjarsari Solo itu mendampingi Wakil Wali Kota Solo Teguh Prakoso dan pejabat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Solo dalam Lomba Pembangunan Daerah Tingkat Provinsi Jateng.

Untuk sektor inovasi dalam lomba tersebut, Kecamatan Banjarsari melalui Program Papi Sarimah menjadi satu-satunya program unggulan yang diajukan Pemkot Solo. Papi Sarimah adalah program inovasi Pemerintah Kecamatan Banjarsari yang mulai dilaksanakan per 1 Januari 2022 lalu.

Program tersebut memaksa warga memilah sampah organik dan nonorganik semenjak dari rumah untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA Putri Cempo. Aturan mainnya sederhana, Anda tak memilah sampah maka petugas tak akan mengambil sampah Anda. Pemerintah Kecamatan Banjarsari memaksa mindset warga berubah.

Di antara pesimisme banyak warga di 15 kelurahan di Banjarsari terhadap program tersebut: mulai dari bank sampah nonorganik yang terbatas, sampah organik dan nonorganik yang tetap ditaruh di satu gerobak sampah, hingga sampah yang makin bercampur-baur ketika di TPA Putri Cempo sehingga program ini terasa sia-sia, Beni tetap mempertahankan dan terus mengevaluasi program ini. Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngudi Makmur menjadi salah satu acuannya.



KWT yang dimaksud Beni ini berada di Kelurahan Joglo. KWT yang mengembangkan berbagai sayuran (selada, kangkung, terung, bunga telang untuk bahan sirup), ayam kampung, hingga maggot BSF untuk pakan ternak itu dikelola Sukamti dan warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Semua produksi berjalan dengan baik kecuali maggot yang sekarang terpaksa terhenti. Persoalannya adalah Sukamti kekurangan sampah makanan untuk pakan larva lalat BSF penghasil maggot.

Budi daya maggot memang membutuhkan banyak sekali sampah organik dan faktanya setelah sekali panen, Sukamti kekurangan sampah makanan. Yang dialami Sukamti sungguh bertolak belakang dengan yang disebut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bahwa Indonesia menghadapi banjir sampah makanan dengan proporsi 60% untuk sampah organik dan sisanya sampah nonorganik.

“Budi daya maggot tiba-tiba memang menjadi sulit ketika kami kekurangan sampah makanan. Saya sudah minta sampah makanan ke tetangga, warung makan di sekitar sini, tapi tetap saja kurang. Betapa saya ingin sebenarnya maggot ini sukses seperti yang diupayakan Pak Wiyono di Taman Winasis,” kata Sukamti.

Perjalanan saya pun bergeser ke Taman Winasis yang berlokasi di kompleks Kantor Dinas Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan (Dispertan KPP) Solo. Dua pengelolanya yang merupakan penyuluh pertanian, Wiyono dan Diah Iswidiningsih, menemani saya berkeliling Selasa (31/1/2023) siang itu.

“Taman ini adalah pusat edukasi untuk siswa sekolah, mulai dari PAUD sampai SD. Sekolah tinggal mengajukan permintaan belajar di sini dan kami akan ajak siswa berkeliling untuk belajar pertanian, peternakan, sekaligus praktik. Semuanya gratis,” kata Diah. “Kadang pulangnya mereka masih kami bawakan telur rebus dari ayam petelur di sini,” tambah dia.

Menggratiskan siswa belajar pertanian, sambung Wiyono, tak membebani APBD Solo. Sebab, operasional taman ditopang dari hasil peternakan, terutama hasil budi daya maggot di tempat tersebut.

Wiyono lantas menunjukkan tempat budi daya maggot di bagian belakang taman. Terlihat belasan bak berjejer di sana, tempat larva menjadi pupa-pupa gemuk yang siap dijual. Lempar saja sampah kepala ayam goreng, daging, atau gorengan di bak itu, kata Wiyono, maka pupa dalam tempo singkat langsung menguraikannya.

“Jadi bayangkan saja, 5 gram telur bisa menghasilkan 10 kg maggot. Inilah yang menopang operasional taman ini,” kata Wiyono sambil menambahkan pakan maggot tersebut ia dapat dari sampah makanan Alila Hotel setelah sebelumnya ia mencari sampah makanan di pasar-pasar tradisional dan hasilnya tak bagus. Saat maggot mengonsumsi sayuran atau buah-buahan, bak tempat dia hidup menjadi lembab dan berair. Sedapat mungkin upayakan maggot makan makanan kering.



Infografis Jangan Rusak Bumi (solopos/Whisnupaksa)
Infografis: Whisnupaksa

Kerja sama dengan Alila Hotel adalah kerja sama yang menguntungkan. Wiyono bercerita Taman Winasis mendapat sampah makanan untuk pakan maggot secara gratis dari Alila sementara kasgotnya (residu sampah makanan yang dimakan maggot) diberikan kepada hotel untuk penyubur tanaman.

“Jadi intinya sampah makanan tidak menjadi masalah apabila dikelola dengan benar. Apalagi kami lihat restoran dan hotel di Solo sudah menjalankan standard operational procedure [SOP] pembuangan sampah melalui pemilahan secara benar. Kami juga lihat ada banyak transporter [pengambil sekaligus penjual sampah organik ke peternak] siap menampung sampah organik dari tempat-tempat itu. Yang jadi persoalan sekarang ini justru sampah organik yang dihasilkan rumah tangga,” kata dia.

Beni Supartono Putro sepakat dengan Wiyono. Itulah sebabnya, menurut Beni, evaluasi Papi Sarimah salah satunya berfokus pada pengelolaan sampah organik di mana Kelurahan Joglo dan Kadipiro menjadi role model-nya. Sampah nonorganik selama ini tidak begitu bermasalah karena bisa langsung dijual ke bank sampah. Beni lalu berpikir sudah saatnya kini ada bank sampah khusus sampah organik.

“Lagi pula saya pikir persoalan ini juga harus diselesaikan dengan pendekatan ekonomi, jadi ada goal pemilahan sekaligus ekonomi supaya warga bisa dapat sesuatu, bukan cuma dipaksa. Nah, mulai tahun ini, saya akan bentuk kelompok-kelompok warga pengelola kompos. Mereka ini bisa beli sampah organik dari petugas sampah. Ini juga berlaku untuk pembudidaya maggot. Intinya petugas sampah harus menyalurkan dulu sampah organik ke mereka,” kata Beni.

Pupuk kompos nantinya disalurkan kepada para pedagang tanaman di dekat Pasar Nongko. Mereka bisa membelinya untuk menyokong program kelurahan dalam rangka memperbanyak ruang terbuka hijau.

Mereka juga bisa membeli kompos dari kelompok-kelompok bikinan kelurahan untuk dijual kepada masyarakat umum.

“Akhirnya kan uang berputar di Banjarsari saja, uangnya tidak lepas ke wilayah lain. Jadi pengelolaan sampah ini intinya dari warga, oleh warga, dan untuk warga. Saya juga akan melihat pasar-pasar tradisional untuk melihat kemungkinan pelibatan mereka,” kata Beni. Laki-laki itu optimistis Papi Sarimah bakal menjadi lebih baik pada 2023 ini.

Oktaviana Ikasari, aktivis lingkungan sekaligus pegiat Gita Pertiwi, menganggukkan kepalanya. “Saya setuju, Papi Sarimah memang program bagus dan punya potensi keberlanjutan yang mendorong terbentuknya model zero waste,” kata dia.

Dengan begitu, Papi Sarimah seharusnya memang diterapkan di seluruh Kota Solo. “Model ekonomi sirkular, urban farming ada di program ini. Kalau diupayakan, saya yakin bisa berjalan di seluruh kota dan itu jelas bisa mengatasi persoalan sampah makanan di Kota Solo. Jadi, saya harap Papi Sarimah ini berkembang, jangan sampai kita terjebak pada fake solution [solusi palsu] lewat PLTSa yang tidak jelas keberlanjutannya,” kata dia.



 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya