SOLOPOS.COM - Petani muda memanen cabai di lahan seluas 2.000 meter persegi di Desa Jimbar, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Kamis (9/3/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Sejumlah pemuda atau kalangan milenial di Wonogiri ternyata banyak yang memilih tidak merantau meski teman-teman seusianya banyak yang bekerja di kota besar dengan alasan mengejar kehidupan yang lebih baik.

Dekat dengan keluarga menjadi alasan kuat bagi mereka untuk tetap bekerja di kampung halaman meski penghasilan pas-pasan. Salah satunya pemuda asal Tirtomoyo, Adibulkhoir, 29, yang mengaku memilih bekerja di Wonogiri dibandingkan pergi ke kota besar.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Ia yang sempat bekerja sebagai desainer di perusahaan percetakan di Semarang selama 10 tahun mengaku kini lebih bahagia tinggal di Wonogiri. Dekat dengan keluarga menjadi alasan utama dia pulang dan menetap ke Kota Sukses.

Saat ini Adib bekerja sebagai konten kreator di salah satu perusahaan di Wonogiri sejak 2020. Meski penghasilan yang didapatkan pemuda milenial Wonogiri itu saat ini tidak sebesar saat merantau di Semarang, hal itu tidak menjadi masalah besar baginya.

Penghasilan sekitar Rp2 juta-Rp3 juta per bulan dinilai masih cukup untuk hidup di Wonogiri meski hampir tak ada sisa untuk ditabung karena habis untuk keperluan sehari-hari dan sebagian di antaranya untuk orang tua.

“Di perantauan, memang penghasilan saya lebih besar, meski selisihnya tidak banyak. Tetapi ada harga yang tidak bisa dibayar berapa pun yakni saya bisa dekat dengan keluarga,” kata Adib saat berbincang dengan Solopos.com di kawasan Kota Wonogiri, Selasa (9/5/2023).

Adib mengaku ingin dekat dengan orang tua yang sudah lansia. Pada sisi lain, dia menemukan kebahagiaan lain di kampung. Ketika berkumpul dengan anak-anak kecil di desa dan memberikan mereka sejumlah jajanan, Adib merasa lebih jauh lebih bahagia.

Tak Ingin Orang Tua Kesepian

Hal itu tidak dia dapatkan saat berada di kota perantauan. Pemuda Wonogiri itu menjelaskan saat masih merantau dan bekerja di Semarang, waktu yang ada habis untuk bekerja pagi hingga sore, kemudian malam untuk istirahat. Hal itu dilakukan berulang selama bertahun-tahun. Bahkan untuk sekadar balik kampung saja harus menunggu Lebaran.

“Saya enggak mau, di masa-masa tua bapak-ibu, saya enggak bisa menemani. Karena jujur saja, banyak orang tua di Wonogiri itu ditinggal anak-anaknya merantau dan mereka merasa kesepian,” ujar anak pertama dari empat bersaudara itu.

Adib tidak memungkiri jika penghasilannya saat ini masih pas-pasan. Tidak jarang teman-teman sebaya dan tetangganya mempertanyakan keputusannya lebih memilih bekerja di Wonogiri. Sebab 90% orang seusia dia di desanya banyak yang merantau.

Hal serupa dilakukan Fendi, 25, pemuda asal Pracimantoro, Wonogiri, yang juga memilih kembali ke Wonogiri setelah merantau di luar kota selama beberapa tahun. Dia memutuskan menjadi petani hortikultura belum lama ini.

Selain lebih menguntungkan, dekat dengan orang tua menjadi alasan kuat pemuda Wonogiri itu tetap berada di kampung dan tidak merantau lagi. Penghasilan rata-rata dia sebagai petani cabai lebih kurang Rp4 juta/bulan. Angka itu lebih besar dibandingkan pendapatannya saat masih bekerja sebagai buruh orang lain.

“Rasanya itu senang, aman saja begitu kalau dekat keluarga. Mau ngapa-ngapain juga enak. Selain itu, kalau dihitung-hitung, lebih menghasilkan jadi petani dari pada dulu kerja ikut orang jualan pakaian,” ucapnya.

UMK Rendah Tak Masalah

Salah seorang pekerja pabrik garmen asal Wuryantoro, Aminah Permata, 24, juga mengaku memilih bekerja di tanah kelahirannya karena dapat dekat dengan anggota keluarga. Di samping itu, suasana di Wonogiri yang berupa pedesaan dianggap lebih tenang dan sejuk.

“Saya memang tidak diizinkan merantau oleh keluarga. Kalau pun boleh, paling bekerja di Solo. Walapun saya indekos, masih suka balik ke rumah sepekan sekali. Kebetulan saya juga anak pertama dari enam bersaudara,” terang Aminah.

Aminah tidak mempermasalahkan UMK Wonogiri yang masih rendah. Bagi pemudi Wonogiri yang belum menikah itu, pendapatannya sudah cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya tanpa harus merantau ke kota besar.

Sebagaimana diketahui, Wonogiri dikenal sebagai daerah yang penduduknya banyak merantau ke kota-kota besar. Warga Wonogiri yang merantau bahkan diperkirakan mencapai 30% dari total jumlah penduduk.

Fenomena tingginya angka urbanisasi di Wonogiri itu pernah diteliti Didit Purnomo yang diterbitkan dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan pada 2009. Berdasarkan jurnal tersebut, kaum boro Wonogiri cenderung bersifat sirkuler, yaitu lebih memilih kembali ke desa setelah memasuki masa tua.

Didit menyebut angkatan kerja Wonogiri sebenarnya lebih senang tetap tinggal di desa asal tersedia lapangan pekerjaan. “Para perantau hanya ingin bekerja pada daerah perantauan dengan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal. Selisih pendapatan tersebut mendorong perantau tinggal lebih lama di daerah perantauan,” tulis Didit Purnomo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya