SOLOPOS.COM - Seorang pedagang melayani pembeli di Pasar Basin yang ada di Desa Basin, Kecamatan Kebonarum, Klaten, Rabu (27/11/2013). ( Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos)

 Seorang pedagang melayani pembeli di Pasar Basin yang ada di Desa Basin, Kecamatan Kebonarum, Klaten, Rabu (27/11/2013). ( Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos)


Seorang pedagang melayani pembeli di Pasar Basin yang ada di Desa Basin, Kecamatan Kebonarum, Klaten, Rabu (27/11/2013). (Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos)

Di tengah marak berdirinya pertokoan modern atau swalayan, pasar tradisional sepertinya tetap menjadi pilihan masyarakat. Hal itu terbukti dengan masih banyaknya pasar tradisional yang masih eksis meski fasilitasnya terbatas.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Salah satu pasar tradisional itu adalah Pasar Basin. Pasar tradisional tersebut berlokasi di pertigaan Jl Wisata Deles, Desa Basin, Kecamatan Kebonarum, Klaten.

Pasar pribadi milik salah satu warga Basin tersebut kondisinya sangat sederhana. Namun, pasar tersebut cukup lengkap seperti pasar tradisionalnya. Komoditas yang dijual, di antaranya sembako, baju, buah-buahan, aneka jajanan pasar hingga gorengan.

Pasar tersebut berdiri di atas lahan seluas sekitar 400 meter persegi dengan beralaskan tanah. Bisa dibayangkan saat hujan turun, tanah menjadi becek tergenang air. Apalagi, separuh dari seratusan pedagang di pasar tersebut menggelar dagangannya dengan cara dasaran. Atapnya pun hanya terbuat dari terpal dan payung.

Sementara, separuh pedagang sisanya membangun los dari bambu, sedangkan atapnya dari seng. Los yang rata-rata berukuran 1,5 meter x 2 meter  tersebut dibangun sendiri oleh pedagang. Umumnya, pedagang yang mampu membangun los adalah mereka yang sudah berdagang lama.

Pemilik pasar Basin, Riyono Budi Harto, 50, mengatakan lahannya mulai difungsikan sebagai pasar sekitar 20 tahun silam. Hingga kini jumlah pedagang di pasar tersebut semakin bertambah hingga mencapai seratusan.
Menurutnya, pasar tersebut berdiri lantaran dia merasa bingung dengan lahan miliknya yang menganggur. Lalu, dia pun berinisiatif memanfaatkan lahan dengan membangun pasar.

“Lokasi pasar menurut saya sangat strategis, di dekat pertigaan jalan utama. Awalnya pedagangnya sedikit, tapi akhirnya terus bertambah  banyak,” katanya kepada Solopos.com di lokasi, RAbu (27/11/2013)

Seperti pasar pada umumnya, dirinya juga menarik retribusi kepada pedagang. Tiap pedagang, dia tarik Rp1.000/ hari sebagai biaya sewa. Meski demikian, minimnya bantuan dari pemerintah setempat membuat pasar yang buka pada pukul 06.00-11.00 WIB tersebut kesulitan membangun infrastruktur. Bahkan, di pasar tersebut tidak memiliki kamar mandi. Akibatnya, jika ada pedagang yang ingin buang air harus menuju sungai yang tidak jauh dari lokasi

. “Belum punya kamar mandi sejak pasar berdiri. Jadi kalau ada pedagang yang kebelet ya lari ke kali [sungai].”

Sementara, salah satu pedagang sembako, Suratiyem, 65, membenarkan kondisi pasar yang sangat sederhana tersebut. Sejak awal berdiri, dia sudah ikut berdagang di pasar tersebut.  “Kondisi pasar sederhana sekali. Los yang saya tempati ini saja saya buat sendiri dari bambu dan seng,” kata pedagang yang berasal dari Basin, Kebonarum tersebut kepada Solopos.com.

Kendati demikian, dia tetap nyaman berdagang di pasar tersebut. Sebelumnya, dia pernah berjualan di Pasar Kraguman. Namun, karena alasan jarak dan usia yang sudah tidak lagi muda, dia pindah ke Pasar Basin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya