SOLOPOS.COM - Arus lalu lintas menuju Jl Urip Sumoharjo yang membelah bangunan Pasar Gede Solo, Kamis (13/1/2023). (Solopos/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SOLO — Setiap bangunan pasar tradisional memiliki karakteristik seperti arsitektur yang khas, seperti Pasar Gede Solo yang punya gaya arsitektur perpaduan Jawa dan Belanda.

Selain arsitektur, hal unik lain dari Pasar Gede yang tahun ini genap berusia 93 tahun adalah bangunannya yang terpisah Jl Urip Sumoharjo. Para pengunjung pasar harus menyeberang jalan dengan kondisi lalu lintas cukup padat untuk mengeksplor pasar yang kini juga menjadi daya tarik wisata itu.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Pasar Gede sisi timur memiliki ruang yang lebih besar dengan komoditas barang dagangan yang lebih lengkap, antara lain bahan kebutuhan pokok, sayuran, buah, kuliner, daging, ikan segar, jamu, hingga oleh-oleh untuk wisatawan.

Sementara bangunan Pasar Gede sisi barat Jl Urip Sumoharjo Solo lebih kecil dengan kios yang didominasi pedagang buah di lantai dasar dan  kuliner khas di lantai II. Contohnya TFP Kopi Warung yang menyediakan menu kuliner western di pasar tradisional.

Koordinator Komunitas Paguyuban Pasar Gede, Wiharto, menjelaskan pasar itu dibangun selama tiga tahun mulai 1927 dengan dengan melibatkan arsitek terkenal dari Eropa, Herman Thomas Kartsen. Paku Buwono (PB) X meresmikan pasar tersebut pada 12 Januari 1930.

Pasar Tradisional dengan Praktik Modern

Pasar Gede Solo menjadi pasar tradisional yang menerapkan praktik modern pertama di Kota Bengawan. Tata ruang didesain membuat warga pasar atau pengunjung merasa nyaman.

“Dari arsitekturnya membuat orang masuk pasar nyaman, penghawaannya, serapan udaranya, silakan bandingkan dengan pasar-pasar lain atau pasar dengan bangunan baru. Kami melihat revitalisasi pasar lain cukup memprihatinkan, belum seperti yang diharapkan pedagang,” kata dia saat diwawancarai Solopos.com, Kamis (12/1/2023).

Pasar Gede semula dibangun dengan satu satu bangunan di sisi timur Jl Urip Sumoharjo. Sementara sisi barat dulunya merupakan ruko yang lantai atasnya digunakan untuk perkantoran.

Selanjutnya Pasar Gede Solo melakukan perluasan untuk menampung pedagang sekitar Pasar Gede Solo di lahan Pemkot Solo sekitar 1983 atau 1984. Pedagang tersebut menempati kios bangunan barat. Pertokoan pindah ke tempat lainnya.

Pasar Gede mengalami beberapa kali renovasi kecil namun pekerjaan paling besar dilakukan setelah kebakaran pada 1999. Pemerintah memperbaiki Pasar Gede pada 2000 dan meresmikan ulang pada 2001.

Menurut Wiharto, tidak ada perubahan struktur bangunan namun ada perubahan secara fungsi zonasi menyesuaikan perkembangan zaman dari pasar tradisional kemudian menjadi pasar pariwisata.

“Setelah peresmian kembali sampai saat ini bisa eksis. Alhamdulilah pasar ini menjadi salah satu pasar favorit di Kota Solo. Pasar punya peran strategis terhadap kota dan pasar mampu mengawal Kota Solo sejak era kerajaan, kemerdekaan, sampai hari ini,” ungkapnya.

Asal Usul Nama Pasar

Para pedagang Pasar Gede Solo mengadakan acara Kembul Agung Lelangen (Lestari, Laris, Ngangeni) untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-93 pasar tersebut, Kamis siang. Pedagang berdoa serta membagikan 93 tumpeng kepada pedagang serta pengunjung pasar.

Selain wujud rasa syukur, upaya itu dilakukan sebagai ajang promosi pasar. Wiharto mengatakan upaya promosi pasar tradisional yang dilakukan secara mandiri sejak 2000. Pasar di Kota Solo memiliki daya tarik untuk dikunjungi masyarakat.

“Kami terinspirasi pasar tradisional sekarang menjadi bergerak menuju pasar wisata. Kami berharap Pemkot Solo mendorong pasar lainnya untuk destinasi wisata,” ungkapnya.

Laman resmi Pemkot Solo menjelaskan pelancong yang datang ke Kota Solo sudah pasti pernah menginjakan kakinya ke Pasar Gede Hardjonagoro atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Gede.

Pasar ini dinamakan Gede karena bangunannya menyerupai benteng dengan pintu masuk seperti istana yang beratap besar dan megah. Sementara  Hardjonagoro diambil dari nama seorang keturunan Tionghoa yang mendapat gelar KRT Hardjonagoro dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Secara fisik, banyak sekali ditemukan keberagaman unsur budaya Jawa, Belanda, dan Tiongkok dalam bangunan pasar yang usianya hampir mencapai satu abad ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya