SOLOPOS.COM - Pedagang Pasar Babadan, Desa Teloyo, Kecamatan Wonosari, berkumpul di Pengadilan Negeri (PN) Klaten, Kamis (30/3/2017). (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Pasar tradisional Klaten, ratusan pedagang Pasar Babadan menggeruduk PN terkait sengketa lahan pasar.

Solopos.com, KLATEN — Ratusan pedagang Pasar Babadan, Desa Teloyo, Kecamatan Wonosari, Klaten, mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Klaten, Kamis (30/3/2017). Kedatangan para pedagang itu lantaran sejumlah pedagang menjadi tergugat terkait kasus perdata sengketa lahan pasar desa tersebut.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Ratusan pedagang itu mendatangi PN sekitar pukul 08.30 WIB. Mereka datang menumpang tiga bus. Salah satu pedagang, Purwanto, 45, mengatakan kedatangan para pedagang merupakan bentuk solidaritas kepada pedagang lain yang menjadi tergugat terkait sengketa lahan pasar.

Purwanto termasuk salah satu pedagang yang turut menjadi tergugat. Purwanto mengatakan para pedagang mendapat surat pemanggilan untuk sidang gugatan perdata itu sekitar dua pekan lalu. Para penggugat yakni Slamet Siswosuhardjo dan Suratno selaku pemilik lahan berdirinya pasar desa.

“Kronologi awal sejarahnya seperti apa tidak begitu tahu karena saya juga hanya menempati pasar pendahulu kami. Selama ini kami juga bayar PBB dan retribusi. Manakala pedagang digugat, kami juga kaget. Seharusnya ini yang digugat pemerintah desa bukan pedagang karena pasar statusnya pasar pemerintah desa,” kata dia saat ditemui wartawan di PN Klaten, Kamis.

Purwanto mengatakan di Pasar Babadan terdapat 13 pedagang oprokan, 18 pedagang los, 31 pedagang kios, serta 60 pedagang tidak tetap. Soal besaran retribusi yang dipungut, saban hari setiap pedagang ditarik Rp1.000.

“Dulu yang menarik pemerintah desa. Tetapi, sekarang yang menarik anak pemilik lahan. Sejak kapan saya juga tidak tahu pasti. Kami berharap pasar desa itu tetap menjadi pasar. Hanya penyelesaiannya bagaimana, kami mohon kepedulian dari pemerintah terkait agar pedagang tenteram dan nyaman mencari rezeki di pasar,” urai pedagang yang sudah sekitar 20 tahun berjualan di pasar tersebut.

Sementara itu, berdasarkan informasi yang diterima, munculnya pasar desa bermula pada 1967 dengan Pemerintah Desa Teloyo masih dijabat seorang kepala desa pradja bernama Marno Suhardjo. Saat itu, di Dukuh Babadan yang berbatasan dengan Sukoharjo banyak pedagang berjualan di tepi jalan.

Lantaran dinilai mengganggu lalu lintas umum dan membahayakan keamanan, pada 15 Februari 1967 pemerintah desa menggelar rembuk desa yang dihadiri semua warga. Dalam rembuk desa, disepakati pembuatan pasar desa.

Sebanyak tiga sawah milik warga dengan total luas 6.215 meter persegi digunakan untuk pembangunan pasar desa. Dua bidang lahan di antaranya milik Slamet seluas 2.500 meter persegi dan Kartodikoro yang kemudian dibeli Suratno dengan luas 1.700 meter persegi.

Sawah ketiga pemilik lahan itu lantas ditukar dengan sawah kas desa. Setelah proses tukar guling, pembangunan Pasar Teloyo dimulai pada 1968. Salah satu pedagang, Hatmanta, 77, mengatakan pembangunan tahap awal dilakukan dengan mengaveling sawah.

“Perjanjian rembuk desa pada 1967 disaksikan pemerintah desa, warga, beserta tokoh masyarakat dan yang menggugat ini sama-sama setuju dengan surat pernyataan,” katanya.

Kuasa hukum penggugat, Suraji, mengatakan lahan seluas 4.200 meter persegi dipastikan secara sah milik para kliennya yakni Slamet dan Suratno. Sertifikat lahan seluas 2.500 meter persegi atas nama Slamet dan lahan seluas 1.700 meter persegi atas nama Suratno.

Ditanya apakah munculnya gugatan itu lantaran proses tukar guling yang belum selesai, ia mengatakan persoalan tukar guling tidak bisa selesai. “Bukan belum selesai, memang tidak bisa selesai karena ada benturan-benturan dengan peraturan seperti UU No. 2/2012 dan PP No. 71/2012. Semua kan ada batasan waktunya ketika harus melaksanakan masalah tukar guling,” katanya.

Suraji mengatakan kliennya sudah beberapa kali melakukan mediasi. Ia mengatakan pada 2010 lahan milik kliennya sempat diblokade tanpa alasan yang jelas oleh kepala desa. Blokade kemudian dicabut pada 2015.

“Kami juga melakukan mediasi di BPN [Badan Pertanahan Nasional] dan dinyatakan secara yuridis [lahan pasar desa] masih milik klien kami. Pendekatan sudah dilakukan sejak 2014, namun tergugat cenderung mendiamkan. Semula kami berpikir bahwa memang masyarakat dan desa memerlukan tanah sehingga kami berpikir mengembalikan pasar nanti bagaimana bekerja sama dengan investor. Proses ini sebenarnya sudah sejak 2014. Tetapi, karena tidak ada tanggapan yang positif maka dengan jalan ini [gugatan perdata] merupakan jalan keluar yang terbaik untuk semuanya. Kami hanya mencari solusi yang terbaik,” urai dia.

Suraji menjelaskan sekitar 56 orang terdiri dari pedagang, kepala desa, serta BPN menjadi tergugat dalam perkara itu. Pedagang ikut menjadi tergugat lantaran menandatangani perjanjian kontrak sewa yang dinilai berbenturan dengan aturan.

“Pedagang pernah menandatangani kotrak sewa yang bunyinya itu selama-selamanya. Itu dibuat pada 2004 oleh kepala desa dan mereka. Jadi, memang perlu ada hal-hal yang diluruskan,” katanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya