SOLOPOS.COM - Paniyem, 56, penjual buah di Pasar Bekonang sedang memegang buah semangka, Selasa (16/10/2012). Ia mengaku pendapatannya turun drastis setelah ada pembangunan Pasar Bekonang. (JIBI/SOLOPOS/Ivan Andimuhtarom)

Paniyem, 56, penjual buah di Pasar Bekonang sedang memegang buah semangka, Selasa (16/10/2012). Ia mengaku pendapatannya turun drastis setelah ada pembangunan Pasar Bekonang. (JIBI/SOLOPOS/Ivan Andimuhtarom)

MOJOLABAN-Pembangunan Pasar Bekonang membuat sebagian pedagang mengeluhkan nilai omzet mereka yang jauh dari kata cukup. Kurangnya koordinasi antara pengelola pasar dengan para pedagang dituding menjadi masalah utama penuruna omzet tersebut.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Seorang pedagang buah, Paniyem, 56, ketika ditemui Espos, Selasa (16/10) di lapak miiknya mengatakan dirinya harus berjuang untuk bertahan sampai pasar Bekonang selesai dibangun. Ia mengaku sudah empat kali pindah lapak karena pengaturan pasar darurat yang kurang terkoordinasi dengan baik.

Awalnya, kata Paniyem, dirinya mendapat jatah di pasar darurat yang disediakan. Namun, menurutnya, pasar darurat itu terlalu jauh dari akses lalu lintas. Apalagi, di sana jarang ada orang yang datang. Sebagai pedagang buah, ia mempertimbangkan tingkat keawetan dagangannya. Ia menempati tempat tersebut sekitar 40 hari.

Akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke sebelah timur pasar. Tetapi ia hanya bertahan 35 hari saja di tempat itu, sampai akhirnya ia menempati tempatnya sekarang di Jl Durian, Dukuh Pingin, Desa Cangkol, Kecamatan Mojolaban yang berjarak beberapa ratus meter dari pasar lama. Perjuangannya belum selesai sampai di sana. Tiap hari, kata dia, dirinya harus memindah dagangannya setidaknya dua kali sehari karena mempertimbangkan panas matahari yang mengenai buah-buahan yang ia jual.

“Saya cuma berharap pasar segera jadi. Kami akan menjalani semua ini. Di sini, untuk mendapatkan uang sangat susah. Kalau dulu saya sehari bisa dapat Rp100.000, sekarang untuk dapat Rp25.000 saja kadang sulitnya minta ampun. Tetapi, kalau di rumah saya takut kebanyakan melamun. Coba kalau dulu para pedagang dipindahkan ke satu lokasi, pasti tidak seperti ini jadinya,” kata perempuan yang berasal dari Dukuh Kersan, Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto itu.

Sementara itu, seorang penjual bumbu dapur yang lapaknya berada di dekat lapak milik Paniyem, Warni, 52, mengaku keadaannya sedikit lebih baik dari Paniyem. Ia sudah menempati lapak itu sebelum para pedagang diminta pergi dari pasar. Ia mengaku sebenarnya mendapat tempat ddi pasar darurat. Tetapi, pertimbangan akses jalan membuat ia urung menempatinya.

“Para pembeli sekarang enggak kayak dulu. Pembeli kebanyakan pakai motor. Mereka enggak kerasan lama-lama di sini karena harus pergi ke lapak lain untuk mencari barang kebutuhan. Omzet saya Cuma seperempat dari saat masih di dalam pasar,” papar Warni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya