SOLOPOS.COM - Pencinta sepak bola nonton bareng pertandingan Timnas U-22 Indonesia melawan Thailand pada final sepak bola SEA Games dari videotron di depan Balai Kota Solo, Selasa (16/5/2023). (Solopos.com/Joseph Howi Widodo)

Solopos.com, SOLO — Sejumlah pihak memberikan apresiasi Pemkot Solo yang telah membuka ruang publik untuk warganya. Namun, pemanfaatan ruang publik selama ini disebut-sebut masih bisa dioptimalkan.

Hal itu disampaikan oleh Kaprodi Magister Kajian Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Solo, Susanto saat diwawancara Solopos.com, Jumat (9/6/2023).

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Saya mengapresiasi Balai Kota dengan halamannya yang menarik masyarakat berkunjung lalu pendoponya yang besar. Kalau kemarin kan paling baru acara guyub itu nonton bola Indonesia lawan Thailand dengan videotron, sebenarnya mengajak masyarakat kampung lebih memiliki ruang publik itu bisa dengan menyelenggarakan acara-acara dari kampung di Balai Kota Solo,” papar Susanto.

Lebih lanjut, dia menyarakan adanya program-program seperti Sejarah Kampung atau Festival Kampung akan menambah rasa kepemilikan masyarakat Solo terhadap ruang publik yang ada.

Hal itu akan membuat warga merasa bangga kampungnya ditampilkan dan memiliki sejarah yang unik. Selanjutnya, akan dimanfaatkan  oleh kelompok-kelompok tari Solo yang selama ini menggunakan fasilitas Pendapa Mangkunegaran.

Susanto juga mengatakan pemimpin Kota Solo masih kurang memiliki visi dalam pembangunan kota. Hal ini karena menurutnya masyarakat tidak terarahkan dan tidak memiliki ruang ekspresi.

Menurutnya, ruang publik Solo sudah banyak tetapi tidak terkonsep. Hal tersebut membatasi masyarakat dalam berekspresi. Padahal, atraksi wisata akan tumbuh sendiri dari rutinitas aktivitas masyarakat berekspresi di ruang publik yang cukup.

Dia menjelaskan ruang publik berfungsi sebagai dua hal, yang pertama sarana estetika, dan yang kedua adalah ekstasis atau hasrat masyarakat untuk melepaskan diri dari beban.

Sriwedari

Solo pernah memiliki ruang publik sesuai fungsinya yaitu di Sriwedari pada tahun 1954-1968. Sriwedari juga pernah menjadi ruang guyub pada era 2000-2004 hingga lahirlah Komunitas Koes Plus.

Aktivitas masyarakat di sana pada saat itu menghibur dan menghidupkan memori. Menurut Susanto, Sriwedari yang kini terbengkalai menjadi bukti kurangnya visi yang dimiliki pemimpin Solo, karena tidak ada desain peruntukan yang jelas.

Dia menambahkan hal ini juga terlihat dari City Walk Solo yang menjadi sepi. Menurut Susanto, hal tersebut terjadi karena pusat ekonomi Solo tidak ada di Jalan Slamet Riyadi, tetapi di daerah Coyudan.

Susanto pun menyayangkan Coyudan yang potensial tidak diwujudkan menjadi mirip Malioboro di Yogyakarta.

Menurutnya, wisata tumbuh dari aktivitas masyarakat, karena aktivitas akan memerlukan fasilitas. Namun, pembangunan berbagai fasilitas tanpa ada aktivitas di dalamnya hanya akan sia-sia. Sementara itu, aktivitas adalah sebuah kreasi yang tumbuh dari pikiran masyarakat.

Dengan cara seperti itu, Susanto yakin wisata di Solo tidak akan tercabut dari akar rumput dan menjembatani kebutuhan masyarakat.

Susanto juga berpendapat keberadaan Masjid Sheikh Zayyed adalah hal baru yang berbeda dengan akar rumput masyarakat Solo.

Namun menurutnya wisata di daerah tersebut sebaiknya dibiarkan tumbuh terlebih dahulu agar akan tercipta kreasi dan aktivitas masyarakat yang lahir secara alami.

Dosen Sosiologi Fisip UNS, Siti Zunariyah, mengatakan saat Kota Solo tengah mem-branding diri sebagai kota wisata, seharusnya Solo juga mengangkat aspek kota yang memanusiakan manusia.

“Saatnya Solo mem-branding menjadi kota yang nguwongke uwong, menempatkan masyarakat sebagai pusat pembangunan,” papar Zunariyah saat dihubungi Solopos.com, Jumat.

Menurutnya, kultur masyarakat Jawa adalah suka berkumpul, saling bersapa, dan mengobrol yang menjadi modal sosial untuk membangun ikatan antar warga. Seharusnya hal itu juga yang menjadi pengikat antara warga dengan pemerintah.

Dia juga berpendapat hal-hal itu sudah seharusnya diberi ruang yang luas agar wisata yang dikembangkan tidaklah state based tetapi community based.

Beberapa saran yang dia berikan antara lain memberi ruang dan dukungan yang seluas-luasnya untuk inisiasi wisata berbasis kampung dengan potensi yang dimiliki, terutama yang mengikat identitas kultural. Dukungan dapat berupa regulasi dan fasilitasi pengembangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya