SOLOPOS.COM - Berbegai pertunjukan digelar antara lain Barongsai, pentas musik, dan pesta kembang api. (Solopos/Putut Hartanto)

Solopos.com, SOLO — Penggiat seni asli Kota Bengawan sekaligus Ketua Komunitas Rumah Banjarsari Solo, Zen Zulkarnain, mengatakan meskipun Solo tengah membangun diri sebagai kota event, dampaknya hanya dirasakan segelintir masyarakat.

Menurutnya belum semua acara di Solo berhasil menyentuh pembangunan akar rumput asli masyarakat Solo.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Tergantung event, kalau konser musik pop seperti Dewa 19 atau Deep Purple jelas tidak semua orang merasakan dampaknya, bahkan walaupun disebut akan memberikan multiplayer effect tetapi itu tidak berpengaruh apa-apa kepada masyarakat akar rumput Solo. Penikmat konser itu hanya yang bisa membeli tiket dan dari luar kota, keberadaan mereka hanyalah untuk meningkatkan okupansi hotel yang juga didominasi hotel menengah ke atas saja,” papar Zen saat dihubungi Solopos.com, Jumat (9/6/2023).

Menurutnya, tidak masalah pembangunan Kota Solo bersifat industri dan mengejar bisnis. Namun pemerintah Kota Solo tidak bisa mengklaim pembangunan Solo sebagai kota event berhasil menyentuh akar rumput Kota Bengawan.

Perlu dikaji juga secara ekonomi apakah multiplayer effect benar-benar terlaksana setelah berbagai event dan pembangunan Solo di era Wali Kota Gibran Rakabuming Raka terlaksana.

Apalagi, berbagai konser dan event di Solo yang berasal dari luar juga mendatangkan event organizer (EO) dari Jakarta, sementara EO lokal tidak semua kebagian pekerjaan.

Zen kemudian menyoroti Masjid Sheikh Zayyed yang menurutnya menjadi bentukan kebudayaan baru, karena tidak mengalami akulturasi di masyarakat dan langsung mengubah wajah kota.

Sebelum era Masjid Sheikh Zayyed, wajah Kota Solo adalah Masjid Agung, Keraton Kasunanan, Sriwedari, dan landmark khas Solo yang memang dekat dengan kebudayaan yang sehari-hari menjadi rutinitas warga Solo.

Sulit Dipecah Belah

Di sisi lain, Zen juga sangat mengapresiasi sedikit dari ruang publik di Solo yang berhasil dimanfaatkan warga menjadi ruang ekspresi. Salah satunya adalah Balai Kota yang halaman dan pendapanya menjadi lokasi masyarakat berkumpul dan bersosialisasi.

Selanjutnya adalah car free day yang diinisiasi sejak pemerintahan Joko Widodo kini secara organik mulai berjalan rutin dan menjadi pertemuan warga yang berhasil meningkatkan interaksi sosial.

Solo sendiri masih memiliki kelompok akar rumput yang tumbuh dengan kuat, antara lain Teater Keliling, Kelompok Ketoprak Tabong, kelompok-kelompok Keroncong, dan Festival Kampung.

Namun Zen sadar kelompok seni dan akar rumput kurang seksi bagi para politisi karena hasilnya tidak bisa langsung tampak dalam waktu kurang dari lima tahun.

Sementara, Koridor Gatsu-Ngarsopuro masih menjadi eksperimen sebagai ruang publik karena rentan menimbulkan kemacetan dan beririsan dengan kepentingan kekuasaan.

Menurut Zen, agar pembangunan di Solo tidak tercabut dari akar rumput, pemerintah harus menggandeng semua stakeholder terutama masyarakat Solo.

Dia mengatakan wajah kampung-kampung di Solo adalah jati diri Kota Solo yang asli, tetapi orang-orang sering terbalik-balik dan kampung dikumuhkan sebagai justifikasi pembangunan baru yang mewah dan bersifat artifisial.

Dia mewanti-wanti hal tersebut karena dia melihatnya di Jogja yang berdampak buruk sampai sempat muncul gerakan Jogja Ora Didol.

Sementara itu, Zen juga mengingatkan pemerintah Kota Solo untuk mengerem pembangunan infrastruktur yang meniru Jakarta.

Menurutnya, Jakarta perlu menjadi pembelajaran karena pembangunannya yang sangat metropolis justru membuat Ibu Kota akan dipindahkan, yang artinya pembangunan metropolis telah gagal.

Sebelumnya, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, menjelaskan banyak event yang berlangsung di Kota Solo selama Juni 2023.

“Ditunggu saja, kita kan Sabtu-Minggu tidak pernah kosong [selalu ada event pada akhir pekan]” kata Gibran.

Dalam sejumlah interaksinya di media sosial, Gibran juga beberapa kali merespons komentar warganet yang bertanya soal kegiatan budaya di Solo. Dia menyebut bahwa di Solo selalu ada kegiatan budaya secara rutin.

Sriwedari

Solo pernah memiliki ruang publik sesuai fungsinya yaitu di Sriwedari pada tahun 1954-1968. Sriwedari juga pernah menjadi ruang guyub pada era 2000-2004 hingga lahirlah sejumlah komunitas seni dan musik sebelum akhirnya digusur karena konflik kepentingan.

Kaprodi Magister Kajian Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Solo, Susanto, Jumat, mengatakan wisata tumbuh dari aktivitas masyarakat, karena aktivitas akan memerlukan fasilitas. Namun, pembangunan berbagai fasilitas tanpa ada aktivitas di dalamnya hanya akan sia-sia.

Sementara itu, aktivitas adalah sebuah kreasi yang tumbuh dari pikiran masyarakat. Dengan cara seperti itu, Susanto yakin wisata di Solo tidak akan tercabut dari akar rumput dan menjembatani kebutuhan masyarakat.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya