SOLOPOS.COM - Sejumlah aktivis kemanusiaan dari jaringan perempuan dan anak di Soloraya bersama kuasa hukum saksi korban Badrus Zaman pada Jumat (7/7/2023) melakukan audiensi terkait perkembangan penanganan kasus inses di Mapolres Sukoharjo. (Solopos.com/Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO – Sejumlah aktivis kemanusiaan dari jaringan perempuan dan anak di Soloraya mendatangi Polres Sukoharjo untuk mengikuti audiensi terkait kasus dugaan kekerasan seksual inses antara ayah S, 58, dengan anak kandung perempuannya G, 21, yang belum selesai.

Mereka bersama kuasa hukum saksi korban Badrus Zaman pada Jumat (7/7/2023) melakukan audiensi terkait perkembangan penanganan kasus inses tersebut. Masing-masing aktivis terdiri perwakilan Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia (YAPHI) Solo, SPEK HAM Solo, Jaringan Layanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Sukoharjo (JLPAK2S), dan anggota Peradi Sragen dan Sukoharjo bidang advokasi perempuan dan anak.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Perwakilan Yayasan YAPHI Dunung Sukocowati mengatakan Audiensi diterima Kasat Reskrim Polres Sukoharjo AKP Teguh Prasetyo mewakili Kapolres Sukoharjo AKBP Sigit. “Pada dasarnya kami ingin kasus ini bisa berjalan sesuai aturan hukum. Karena ini sudah terlalu lama, sudah 2 tahun namun belum ada keadilan,” imbuh Dunung menegaskan saat ditemui wartawan seusai audiensi tersebut.

Ia menjelaskan hasil audiensi tersebut penyidik mengatakan kasus inses yang dialami G yang kemudian dilaporkan pada 2021, hingga kini alat buktinya belum cukup. Dari tiga materi yang sudah disampaikan pelapor, baru satu yang bisa dijadikan alat bukti oleh polisi yaitu keterangan saksi korban.

Kini penyidik tengah berupaya melengkapi alat bukti untuk meningkatkan penyelidikan ke penyidikan. Lebih lanjut kata Dunung, penyidik akan mengupayakan ada tiga alat bukti yang dijadikan dasar meningkatkan status perkara tersebut. Namun saat ini tambahan alat bukti tersebut sedang dalam proses, salah satunya adalah tes darah yang ditempuh untuk membuktikan anak yang dilahirkan saksi korban.

“Tapi sudah ada beberapa petunjuk yang bisa dijadikan alat bukti. Ada saling keterkaitan antara petunjuk yang satu dengan yang lain. Sebetulnya dengan dua alat bukti saja sudah cukup, [dikuatkan dengan] surat keterangan dari rumah sakit tempat saksi korban melahirkan bayi pada 2017 silam, sebagai bukti petunjuk,” ungkap Dunung.

Sementara itu, Kuasa Hukum G, 21, Badrus Zaman mengatakan dari hasil audiensi tersebut didapatkan informasi perkembangan penyelidikan yang akan dituangkan secara tertulis melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) kedua.
Terkait dengan upaya penyidik berupaya menambah alat bukti, menurutnya hal itu bukan tanpa sebab.

Menurutnya hal itu lantaran terlapor merupakan seorang pejabat publik yang paham hukum. “Maka polisi berupaya untuk memaksimalkan alat bukti agar penanganannya bisa maksimal. Namun menurut kami, bukti petunjuk itu sudah banyak dan cukup untuk meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan,” tegasnya.

Seperti diketahui, kasus ini bermula atas laporan G yang melaporkan ayah kandungnya sendiri yang berinisial S yang juga seorang praktisi hukum di Sukoharjo. S dilaporkan telah melakukan kekerasan seksual secara berulang terhadap G saat masih duduk dibangku SMP pada 2015 silam.

Akibat dugaan perbuatan bejat yang dilakukan secara berulang dari 2015, 2016, dan 2017 itu, G hamil dan pada 2017 hingga melahirkan bayi laki-laki di sebuah rumah sakit swasta di Selogiri, Wonogiri. Namun laporan itu hingga kini belum menunjukkan perkembangan yang berarti, selama dua tahun berjalan kasus tersebut masih mengambang dalam penyelidikan.

Badrus mengungkapkan kini keadaan G berangsur membaik seusai mendapatkan pendampingan psikologis. Ia berharap kasus tersebut segera mendapat keadilan.

Sementara itu Kasatreskrim Polres Sukoharjo AKP Teguh Prasetyo mengatakan hasil pengecekan darah harus menunggu beberapa waktu, setidaknya minimal dalam tiga pekan.

Sebelumnya, Ketua Peradi Sukoharjo Song Sip menilai lambatnya kasus tersebut meresahkan warga yang menanti kepastian hukum yang sama. Ia menilai seharusnya polisi cepat menanggapi kasus tersebut sehingga tidak terkesan adanya pembiaran.

“Ini bukan soal pengaduan dan tidak karena barang bukti sudah ada, anak [hasil dugaan hubungan gelap] itu kan sudah bukti valid. Lakukan upaya hukum tangkap dan tahan. Patut dipertanyakan [soal lamanya kasus] ini menimbulkan keresahan pada masyarakat Sukoharjo ini kasus moral yang tidak baik. Saya sebagai orang tua saya juga geram, terlapor bergelar hukum memberikan contoh yang tidak baik,” ungkap Song Sip.

Song Sip menguraikan alat bukti dari pelapor sudah cukup, menurutnya penyidik harus menggunakan haknya untuk melakukan upaya paksa tes DNA pada terlapor. “Ini akan melukai para pencari keadilan lainnya apalagi saya sedikit banyak terusik dengan backgroundnya [terlapor] yang juga dari hukum,” tegas Song Sip. Kasus tersebut juga telah menjadi perhatian banyak pihak di antaranya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPI), berbagai pengamat hingga legislator.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya