SOLOPOS.COM - PKL mulai menempati kawasan wisata kuliner Gladak Langen Bogan di Jl Mayor Sunaryo, Pasar Kliwon, Solo. Penataan kawasan ini masih dilingkupi permasalahan karena masih adanya beda pendapat dan sikap antara PKL dengan instansi terkait Pemkot. (JIBI/SOLOPOS/Burhan Aris Nugraha)

PKL mulai menempati kawasan wisata kuliner Gladak Langen Bogan di Jl Mayor Sunaryo, Pasar Kliwon, Solo. Penataan kawasan ini masih dilingkupi permasalahan karena masih adanya beda pendapat dan sikap antara PKL dengan instansi terkait Pemkot. (JIBI/SOLOPOS/Burhan Aris Nugraha)

SOLO – Pembangunan kawasan kuliner di Gladak Langen Bogan (Galabo) yang selesai akhir Desember lalu rupanya menyisakan keresahan bagi pedagang terutama pedagang kaki lima (PKL) Beteng Utara. Bagaimana tidak, sejumlah persoalan mulai dari besaran retribusi, payung hukum pengelolaan manajemen satu atap sampai penataan gerobak bagi PKL sampai saat ini belum menemukan titik terang.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Keluh kesah PKL Beteng Utara kerap diutarakan dalam beberapa forum pertemuan yang mengundang dinas terkait. Namun tidak ada jawaban yang sesuai dan diterima semua pedagang. Keinginan pedagang tidak muluk-muluk, mereka siap ditata asalkan dengan konsep pengelolaan manajemen yang jelas.

Dalam penertiban Kamis (3/1/2013) siang, UPTD Kawasan Kuliner dengan dinas terkait berusaha menertibkan gerobak kuning bagi PKL siang yang berjualan di depan selter. Penertiban yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) justru membuat sebagian besar pedagang larut dalam emosi. Tetapi hal itu tidak menimbulkan adu fisik.

Kasus itu membuat anggota DPRD Kota Solo komisi III, Abdullah AA, turun langsung menemui PKL di rumah penasehat paguyuban PKL Beteng Utara, Karoulus Kare, Jl Mayor Sunaryo No 1, Kedunglumbu, Pasar Kliwon, Kamis (4/1) malam. “Kami itu mau diatur, asalkan tidak merugikan PKL. Masak kami disuruh jualan sementara gerobaknya berada di belakang. Terus dagangan yang kami tawarkan kepada pembeli itu apa?,” papar salah satu PKL, Siska, saat mengutarakan unek-uneknya di hadapan Abdullah AA.

Siska juga tidak habis pikir dengan keinginan UPTD Kawasan Kuliner Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Slo yang menginginkan penyebutan PKL dirubah menjadi pedagang kuliner. “PKL dan pedagang kuliner itu pangsa pasarnya beda jauh. Pembeli bisa kami layani pakai uang Rp5.000 dengan menu makanan berupa nasi kucing, gorengan dan air minum. Sedangkan pedagang kuliner kan harganya lebih mahal lagi. Pedagang kuliner itu pajaknya seperti pajak rumah makan, beda dengan PKL. Prinsipnya kami enggak mau disamakan dengan pedagang kuliner, PKL ya PKL, bukan PKL kuliner,” timpal anggota lain, Meidi.

Pedagang lainnya, Toni, mengatakan penataan konsep Galabo bagi PKL masih amburadul. “Kalau belum ada Perda dan SK Walikota yang mengatur di dalamnya, sampai kapan pun PKL tidak mau diatur UPTD Kawasan Kuliner. Semestinya lokasi baru bisa membuat nyaman pedagang, bukan malah runyam. Hak-hak PKL kok dirampas seenaknya,” tutur Toni.

Menanggapi keluhan PKL, Abdullah, mengatakan akan mengadakan pertemuan dengan dinas terkait. Pihaknya mengatakan kebijakan yang diterapkan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo untuk pengelolaan Galabo akan menguntungkan pedagang. “Maksud Walikota itu sebenarnya baik. Namun jika ada masalah seperti ini, akan saya tanyakan langsung. Besok pasti ada pertemuan selanjutnya,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya