Soloraya
Jumat, 24 Januari 2014 - 06:10 WIB

PENATAAN TIRTONADI SOLO : Pedagang Asongan Waswas

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi (JIBI/dok)

Solopos.com, SOLO — Beberapa bus tujuan Jogja-Surabaya parkir di terminal sisi timur. Tak sedikit penumpang yang mengisi bus-bus itu. Para penumpang itulah yang menjadi sasaran empuk para pedagang asongan. Mereka keluar masuk bus dengan membawa beban makanan dan minuman di pundak. Dengan seragam rompi batik dan warna krem, mereka menjajakan makanan dan minuman dari bus ke bus.

“Tahu-tahu! Minuman dingin, yang dingin! Mangga Pak, minumnya, yang dingin ada. Atau tahu, Bu, cuma Rp1.000,” suara para pedagang asongan itu bersahut-sahutan di dalam bus. Beberapa penumpang hanya terdiam, seolah tak menghiraukan tawaran mereka. Namun, ada juga beberapa penumpang yang membeli minuman dan makanan ringan.

Advertisement

Aktivitas pedagang asongan itu terjadi setiap hari di dalam Terminal Tirtonadi. Dari catatan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Terminal Tirtodadi, ada 258 orang yang bekerja menjadi pedagang asongan itu. Namun, versi Paguyuban Asongan Semangat Kerja (Pasker), jumlah pedagang asongan itu mencapai 268 orang.

Salah satunya, Titeh, 40, seorang pedagang asongan asal Tanon, Sragen. Bapak dari dua anak itu melakoni pekerjaan itu sejak tahun 1980. Titeh pernah berdagang dengan sembunyi-sembunyi atau bermain petak umpet dengan aparat pada 1980-an. Pada masa itu memang ada larangan dari pemerintah bagi pedagang asongan beraktivitas di terminal.

“Tapi, pascareformasi pedagang asongan dibebaskan berjualan di terminal. Sejak itu, kami nyaman berjualan. Pekerjaan ini menjadi sumber penghidupan keluarga. Penghasilannya pun cukup lumayan, kalau laku keras bisa untung bersih Rp50.000/hari, seperti masa-masa liburan. Kalau hari-hari biasa paling Rp30.000/hari,” ujarnya saat ditemui Espos di Terminal Tirtonadi Solo, Kamis (23/1/2014).

Advertisement

Munculnya Perda No. 1/2013 tentang Penyelenggaraan Perhubungan seolah menjadi momok bagi Titeh dan rekan-rekannya. Peristiwa 1980-an lalu mungkin bakal terjadi kembali. Titeh hanya bisa berharap ada toleransi atas kebijakan regulasi itu. Dia ingin bisa terus berjualan demi keluarganya. “Saya masih waswas dengan larangan itu. Selama ini, kami boleh berjualan. Kalau tidak boleh sama sekali, kami harus bekerja apa? Di rumah juga tidak ada sampingan. Semoga larangan itu urung dilakukan,” harapnya.

Nasib serupa pun dialami pedagang asongan lainnya, Endri, 38. Bekerja sebagai pedagang asongan menjadi matapencaharian Endri untuk menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil. Endri pun khawatir bila Pemkot Solo memberlakukan larangan itu. “Anak saya yang sulung baru duduk di bangku SMP, nomor dua masih SD, dan yang bungsu masih berumur tiga tahun. Istri juga nganggur di rumah. Kalau kami dilarang berjualan, ratusan pedagang asongan ini pasti akan jadi pengangguran,” tuturnya.

Endri berniat tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 2014. Dia mengaku tidak percaya dengan para pemimpin, kecuali pemimpin di tingkat desa (kepala desa/lurah). “Mereka tidak pernah memperhatikan nasib orang kecil seperti kami. Masa berjualan yang tidak menganggu mereka saja dilarang,” imbuh pedagang tahu dan kacang tanah itu.

Advertisement

Dagangan para pedagang asongan itu bermacam-macam, di antaranya pedagang minuman, makanan ringan, buah, buku, kacamata, dompet, dan mainan anak. Wacana pemberian kios/los bagi mereka pun tak pernah didengar Titeh maupun Endri. Bahkan sosialisasi terkait Perda Penyelenggaraan Perhubungan di Hotel Grand Setiakawan juga tak diikutinya. Mereka mendengar adanya larangan berjualan itu dari kabar antarpedagang sendiri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif