SOLOPOS.COM - Ilustrasi Kartu Indonesia Pintar (kemdiknas.go.id)

Pendidikan Sragen, para siswa pemegang KIP masih harus membayar uang pengembangan sekolah.

Solopos.com, SRAGEN — Para siswa sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) pemegang Kartu Indonesia Pintar (KIP) masih tetap dibebani uang pengembangan pada tahun ajaran baru. Para orang tua siswa mengeluh dan bingung mengadu ke mana karena tidak sanggup membayar uang pengembangan sekolah yang nilainya jutaan rupiah.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Keluhan itu disampaikan seorang tukang cukur di kios renteng kompleks Stasiun Kereta Api (KA) Gondang, Sragen, Sunaryo, 52, saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis (13/7/2017). Sunaryo yang tinggal di Dukuh Gondang Tani RT 027, Desa/Kecamatan Gondang, itu memiliki anak yang sekolah di SMKN 1 Gondang.

Anaknya naik dari kelas X ke kelas XI. Sunaryo mengaku mendaftarkan siswa di sekolah negeri itu lewat jalur kuota siswa miskin 20%.

“Saat pendaftaran tahun lalu itu masuk lewat jalur kuota miskin tetapi dimasukkan reguler. Katanya kalau nilai rata-ratanya kurang dari 7,0 tidak mendapat beasiswa. Anak kami tetap berkewajiban membayar uang pengembangan Rp3 juta dan SPP Rp150.000/bulan. Saya sudah mengadu ke Bupati tetapi jawabannya SMK menjadi wewenang provinsi dan saya disuruh ke UPTPK [Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan] tetapi jawabannya sama,” ujarnya.

Sunaryo bingung harus mengadu ke mana. Rapor anaknya sempat ditahan sekolah karena Sunaryo belum membayar uang pengembangan dan SPP anaknya menunggak sampai sembilan bulan.

“Jadi beban yang harus saya bayar itu Rp4,35 juta. Saya membuat perjanjian untuk kesanggupan bayar pada 10 Agustus mendatang dan akhirnya rapor dikasihkan. Kami ini benar-benar tidak mampu karena anak saya punya KIP yang katanya ada bantuannya sampai sekarang ya nol rupiah. Kami juga punya kartu BPJS [Badan Penyelenggara Jaminan Sosial] dari KK miskin, kartu Saraswati, kartu Sintawati, semua saya berikan tetapi tetap bayar. Mestinya setidaknya ada keringanan,” ujarnya.

Keluhan yang hampir sama disampaikan seorang ibu pedagang jamu keliling, Nafiah Yuliana, 45, warga Dukuh Balu RT 011, Desa Bendungan, Kedawung, Sragen, saat bertemu Solopos.com di kompleks Sekretariat Daerah (Setda) Sragen, Kamis siang. Ana, panggilan ibu itu, punya anak yang sekolah di SMKN 1 Kedawung dan tahun ini naik dari kelas XI ke kelas XII.

Ana sampai sekarang belum bisa mengambil rapor anaknya karena belum bisa membayar uang pengembangan senilai Rp1,8 juta. Padahal anaknya itu juga pemegang KIP, Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan kartu lainnya.

“Kami berobat ke rumah sakit sampai operasi saja tidak bayar tetapi anak saya sekolah kok masih dibebani uang pengembangan Rp1,8 juta. Dulu kakaknya yang juga sekolah di SMKN 1 Kedawung saja tidak ditarik bayaran saat kelas XI dan XII. Kemarin, saya bertemu wali kelas disuruh meminta surat keterangan dari pimpinan sekolah. Sampai sekarang juga belum mendapat keterangan terkait uang pengembangan itu dan rapornya juga belum diambil,” tuturnya.

Ana memiliki enam anak. Anaknya yang nomor empat yang sekolah di SMKN 1 Kedawung itu. Anaknya yang nomor lima juga sekolah setingkat SMK, kemudian anak bungsunya masih SMP.

Sementara itu, Kepala SMKN 1 Gondang, Sragen, Karnawi Henri Santoso, tidak mengangkat teleponnya saat dihubungi Solopos.com berulang kali. Ketua Penerima Peserta Didik Baru (PPDB) online SMKN 1 Gondang, Sragen, Tugiyo, menyampaikan Karnawi sejak Kamis pagi ada tugas di Solo. “Kalau yang masalah siswa kelas I naik kelas II saya kurang tahu,” ujarnya.

Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMKN 1 Gondang, Sragen, nonaktif, Budi Maryono, menjelaskan memang dulu ada kebijakan kalau nilai rata-rata NEM kurang dari 7,0 masih ada kewajiban membayar uang pengembangan. Tetapi kalau memiliki nilai rata-rata minimal 7,0 bisa gratis uang pengembangan. Selain itu, kepemilikan KIP itu belum bisa mendapat jaminan dapat beasiswa dari pemerintah.

“Buktinya saya mengajukan ratusan anak pemegang KIP ternyata yang dapat beasiswa hanya 150 siswa. Kalau siswa yang mendapat fasilitas bebas uang pengembangan ada 29 orang karena nilainya rata-rata 7,0. Jadi mestinya pada KIP itu ada lampiran virtual rekening agar yang mengurusi orang tua siswa bukan sekolah,” tuturnya.

Terpisah, Kepala SMKN 1 Kedawung, Sragen, Taryoko, membantah ada rapor siswa yang ditahan karena tidak bisa bayar uang pengembangan. Dia menjelaskan persoalannya sebenarnya ada tunggakan uang sekolah dari para siswa itu Rp440 juta untuk kelas X dan Rp300 juta untuk kelas XI. Agar uang sekolah itu terbayarkan, kata dia, sekolah mengambil kebijakan menyerahkan rapor pada dua kali tempo, yakni 23 Juni dan 10 Juli.

“Buktinya dengan strategi itu tunggakan uang sekolah dari siswa berkurang karena sudah terbayarkan saat ambil rapor. Pada Senin [10/7/2017] lalu, kami sudah memerintahkan semua rapor diserahkan lewat wali kelas. Bagi yang belum mampu membayar uang pengembangan silakan hubungi wali kelas,” tuturnya.

Taryoko mengatakan siswa pemegang KIP ada keringanan biaya sekolah. Dia membenarkan tahun lalu ada ketentuan nilai rata-rata minimal 7,0. Tetapi untuk kelas X tahun ini nilai rata-rata itu diturunkan menjadi 6,0.

“Nanti mau dikurangi atau dibebaskan dari uang pengembangan itu tergantung pada sekolah. Kalau di SMKN 1 Kedawung jika orang tuanya benar-benar tidak mampu akan kami gratiskan, seperti anak yatim piatu,” tambahnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya