SOLOPOS.COM - Seminar nasional Meninjau Kebijakan Transisi Energi di Indonesia: Kapasitas Regulasi dan Ekosistem bagi Dunia Usaha. Seminar di Ruang Seminar Gedung Pascasarjana UMS, Kamis (9/3/2023). (Istimewa/UMS)

Solopos.com, SUKOHARJO —  Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia baru sekitar 2%-3%. Padahal penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi dinilai menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Sehingga transisi  penggunaan energi terbarukan perlu mendapat dukungan terutama dalam regulasi dan ekosistem bagi dunia usaha.

Hal itu disampaikan Wakil Dekan III Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Muchamad Iksan, dalam pembukaan seminar nasional dengan tema Meninjau Kebijakan Transisi Energi di Indonesia: Kapasitas Regulasi dan Ekosistem bagi Dunia Usaha. Seminar tersebut dilaksanakan secara hybrid di Ruang Seminar Gedung Pascasarjana UMS dan online via Zoom, Kamis (9/3/2023).

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Kegiatan tersebut digelar oleh Magister Ilmu Hukum (MIH) FH UMS bekerja sama dengan Center of Economic and Law Studies (Celios).  Iksan menyampaikan dalam kurun waktu tujuh tahun pertama sejak 2006, Indonesia hanya berhasil memanfaatkan energi terbarukan sebanyak 1%. Di delapan tahun berikutnya Indonesia meningkat sekitar 2% sehingga total penggunaan energi terbarukan selama 15 tahun terakhir maksimal hanya sebesar 3%.

Sementara penggunaan energi baik di industri maupun rumah tangga terlebih transportasi membutuhkan sekitar 7% per tahunnya. Kapasitas jumlah tersebut tidak dapat menutup kebutuhan energi apalagi menggantikan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi.

“Harus ada kebijakan hukum untuk menopang transisi dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi ke penggunaan energi terbarukan. Kalau tidak, industri, pengusaha, atau pemodal yang menikmati hasil dari energi fosil tidak akan melepas [beralih ke energi terbarukan],” katanya.

Peralihan ke energi terbarukan harus segera dilakukan. Dengan harapan, penggunaan energi terbarukan tidak menimbulkan kerusakan alam yang besar di masa depan. Kendati demikian, dalam waktu dekat masyarakat akan merasakan beban berat perubahan transisi. Hal itu ditandai dengan harga mobil listrik yang semakin mahal. Namun menurutnya hal itu akan bermanfaat bagi generasi mendatang di masa depan.

Seminar tersebut turut menghadirkan para pakar. Di antaranya Guru Besar Hukum Tata Negara UMS, Aidul Fitriaciada Azhari; pakar ekonomi UMS, Anton Agus Setiawan; serta peneliti dari Celios, Mhd., Zakiul Fikri.

Aidul Fitriaciada Azhari yang juga Ketua Program MIH UMS mengungkapkan seminar ini mengangkat tema yang jarang diperbincangkan. Menurutnya pembahasan terkait energi terbarukan juga masih jarang dilakukan di perguruan-perguruan tinggi. Padahal menurutnya hal tersebut sangat penting demi kelangsungan generasi mendatang.

Lebih lanjut dia mengatakan rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT)  yang mengatur tentang transisi energi, terbentur persoalan power wheeling. Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan pembangkit listrik swasta atau independent power producers (IPP) untuk menjual listrik kepada pelanggan rumah tangga dan industri.

Di sisi lain penjualan listrik  dari IPP tersebut menggunakan jaringan distribusi dan transmisi milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui open source. Perusahaan swasta itu kemudian membayar biaya yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Aidul mempertanyakan apakah kehadiran power wheeling nantinya dapat menjadi pemisah antara pelaku usaha dalam dunia energi. Sebab dengan power wheeling itu akan terbagi antara negara dan pelaku usaha.

“Yang dikhawatirkan sebenarnya kalau dibedakan seperti ini  akhirnya memberatkan masyarakat. Karena bagaimanapun terjadi proses liberalisasi-privatisasi kegiatan listrik [energi], yang seharusnya dikuasai oleh negara,” jelasnya.

Sebelumnya dalam pemaparan materinya Aidul menyampaikan bahwa Hak Menguasai Negara bukan berarti memiliki. Karena pada aturannya Hak Menguasai Negara adalah merumuskan kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi.

Sementara itu, pakar ekonomi UMS, Anton Agus Setiawan, memberikan komentar terkait transisi energi dengan menggunakan pengembangan bio fuel (bahan bakar hayati). Menurutnya penggunaan bio fuel akan memungkinkan adanya krisis pangan karena kenaikan harga pangan.

“Kalau semua diarahkan ke tanaman untuk energi, harga pangan bisa naik. Itu terjadi di Amerika pascakrisis, setelah 2008 mereka mulai mengembangkan bio fuel karena minyaknya di embargo China. Akibatnya harga jagung naik, orang ngga bisa makan, ternaknya ngga bisa makan, dan harga dagingnya naik,” papar Guru Besar Ilmu Manajemen yang juga Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMS itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya