Soloraya
Rabu, 23 Maret 2022 - 13:58 WIB

Penjualan Surut, Perajin Tenun Weru Sukoharjo Butuh Marketing Khusus

Magdalena Naviriana Putri  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Proses tenun dengan alat tenun bukan mesin di tempat produksi Satria Lurik, Betokan RT001/RW005, Tawang, Weru, Sukoharjo, Selasa (23/3/2022). (Solopos-Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO — Para pengusaha kain tenun di Desa Tawang, Kecamatan Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah, sempat kesulitan memasarkan kain yang mereka produksi. Kenaikan harga bahan baku yang berimbas pada kenaikan harga jual kain membuat para pengusaha dan pembeli tidak mendapatkan titik temu.

“Kemarin itu sempat, mau menaikkan harga Rp500 rupiah saja susah sekali. Dulunya Rp8.500/m surjan jadi Rp9.000/m. Sampai akhirnya tengkulak yang biasa membeli itu beralih ke yang lain. tapi akhirnya dua bulan yang lalu sampai hari ini kembali lagi ke sini karena tahu kualitasnya,” jelas salah seorang pengusaha kain tenun lurik, Ngadiran Setyo Miharjo, 65, saat ditemui Solopos.com, Selasa (22/3/2022), di rumahnya di Pandanan RT 001/RW 007, Tawang, Weru, Sukoharjo.

Advertisement

Menurutnya kenaikan harga jual wajar terjadi sebab harga bahan baku kini melambung tinggi. Dia menyebut harga benang yang dulunya Rp135.000/4,5 kg kini mencapai Rp190.000/4,5 kg. Tak hanya itu pewarna yang digunakan untuk mewarnai benang kini mencapai Rp90.000/kg untuk pewarna selain hitam dan pewarna hitam Rp75.000/kg. Kenaikan harga pewarna benang itu mencapai Rp20.000/kg.

Baca juga: Harga Benang Tinggi, Perajin Tenun Sukoharjo Kesulitan Pasarkan Kain

Advertisement

Baca juga: Harga Benang Tinggi, Perajin Tenun Sukoharjo Kesulitan Pasarkan Kain

“Dulu kalau ada yang mau beli pewarna kami jual Rp7.000/ons sekarang Rp11.000/ons. Kalau untuk saudara sendiri ya diberikan sesuai dengan harga kami membeli. Kalau ada yang mau membeli benang juga seperti itu, sekarang kami menjualnya Rp195.000/4,5 kg. Hanya mengambil untung Rp5.000,” ujarnya.

Biaya Produksi Lebih Mahal

Advertisement

“Marketingnya masih kurang, ya sekadarnya saja. Pegawai yang mengerjakan juga hanya jadi samben [sambilan], tidak ada target khusus. Kalau ada yang panen, kesripahan [berita duka], musim tanam, tarub [orang menikah] itu pasti libur, yang penting masih bisa jalan, masih bisa gaji pegawai,” terangnya.

Baca juga: Pasar Cuplik Sukoharjo akan Dibangun, Ini Lokasi Pasar Darurat

Lebih lanjut, Ngadiran mengaku saat ini sekitar 20an pegawainya dibekali ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Sebab jika menggunakan tenun mesin berdinamo, kata dia, biaya produksi akan lebih mahal. Selain itu, banyak pegawai yang takut menggunakan tenun mesin.

Advertisement

“Kalau pakai yang dinamo di rumah-rumah kan listriknya nanti nambah lagi, kecuali terpusat di rumah pemilik. Banyak yang takut kalau pakai mesin tenun, karena lebih cepat kan, jadi kalau sekali benangnya meleset kain pasti akan jadi cacat,” jelas Ngadiran.

Ngadiran menjelaskan kain rusak tetap bisa jual namun dengan harga murah Rp3.000-Rp4.000/meter. Harga itu tentunya tidak menutup ongkos produksi.

Ditemui terpisah, pemilik usaha Satria Lurik ATBM, Irnawati, 38, warga kampung Betokan, RT001/RW005, Tawang, Weru, Sukoharjo, mengaku mengalami kesulitan sama dengan Ngadiran terkait harga bahan baku yang kian tinggi.

Advertisement

Baca juga: Sukoharjo Ekonomi Kreatif Expo Digadang-Gadang Bangkitkan UMKM

“Gara-gara pandemi ini terasa banget, seperti benang dulunya membeli Rp260.000-Rp275.000/4,5kg sekarang naik sampai Rp410.000/4,5kg, masalahnya buangnya [jualnya] sulit, apalagi kalau mau dinaikkan harganya,” kata wanita yang memiliki 45 pekerja itu.

Tak hanya itu, Irna mengaku cuaca juga menjadi kendala tersendiri baginya. Saat musim penghujan dia kesulitan mengeringkan benang yang telah diwarnai. Akibatnya, proses pengerjaan kain yang seharusnya bisa dikerjakan satu hingga dua pekan kini mencapai tiga pekan.

Untuk mensiasati lama produksi dan kuantitas, kini dia mengubah mesin ATBMnya menjadi mesin dinamo, karena jika keseluruhan proses manual, maka proses produksi akan bertambah lama. Walaupun hingga saat ini ATBM juga masih digunakan oleh pegawai yang mengerjakan di rumah masing-masing. Sedangkan mesin tenun yang berdinamo dipusatkan dirumah nya, beserta pewarnaan kain, pemintalan benang, hingga pembuatan motif.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif