SOLOPOS.COM - Rachman Sabur, Sardono W. Kusumo, dan Hanindawan (dari kiri ke kanan) ketika mementaskan Wasiat Diponegoro di Masdon Art Center, Kemlayan, Serengan, Solo, Sabtu (6/1/2023) malam. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Seketika panggung menjadi agak gelap. Alunan musik dengan suara string terdengar, disusul dengan nyanyian Peni Candra Rini.

Tidak lama kemudian, Eko Supriyanto tiba-tiba muncul dari peti berbentuk balok dari kayu yang berada di tengah panggung. Eko yang mengenakan baju hitam transparan itu mengambil posisi di atas peti.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Aksi itu mengawali pentas teatrikal Wasiat Diponegoro di MasDon Art Center, Jl. Empu Gandring No.40, Kemlayan, Kec. Serengan, Solo pada Sabtu (6/1/2023) malam. Pentas yang menceritakan kisah akhir hayat Diponegoro itu dipentaskan tiga malam dengan materi yang sama sampai Senin (8/1/2023). 

Rintik hujan Sabtu malam itu mempertebal emosi setiap kali Peni bernyanyi dan Eko menari. Tariannya patah-patah dan tegas. Geraknya sangat maskulin. Perlahan Eko mendekati wajan besar di atas panggung. Dia beralih tempat, menari di atas wajan, menungganginya seperti seorang prajurit naik kuda.

Ilustrasi itu memang menggambarkan Pangeran Diponegoro kala muda ketika bertemu ratu adil di dalam mimpi. Konon, ratu adil menginginkan Diponegoro menjadi panglima perang untuk membebaskan tanah Jawa dari praktik kolonialisme, perbudakan, dan bencana kelaparan. 

Namun, pangeran Keraton itu sempat menolak, dia tidak tahan dengan pertumpahan darah, di sisi lain dia juga tidak tahan melihat Jawa yang tertindas dan miskin. Diponegoro memimpikan keadilan di tanah Jawa.

“Jangan saya karena saya ini harus jujur dalam segala hal, saya sesungguhnya takut dengan kematian. Saya tidak tahan melihat darah tertumpah, dan saya sesungguhnya sedang belajar dari nenek saya, dan saya sudah menjalani hidup tenang di Desa Tegalrejo,” kata Artistic Director pentas, Sardono W. Kusumo menirukan Diponegoro dalam monolognya.

Namun, di dalam pertemuan itu, Diponegoro terus didesak oleh Ratu Adil untuk mengemban tugas agung sebagai Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah di tanah Jawa. 

“Tetapi Ratu Adil menjawab ‘jangan, kamu harus tetap mengambil tugas ini, kalau ada yang tanya kenapa, suruh mereka mencari jawabannya di Al-Qur’an’. Sejak itu Diponegoro terus mendalam agama, spiritual, kemanusian,” ucap penari, koreografer, dan sutradara film asal Solo itu.

Setelah merasa mengemban tugas membebaskan tanah Jawa, segera setelah itu Diponegoro membentuk pasukan dan mengkoordinasi pemberontakan. Dia belajar banyak tentang ilmu perang dan terpengaruh oleh gaya militer ala Turki Utsmani. 

Hasilnya Diponegoro membuat trauma pasukan Hindia Belanda, perlawanan dahsyat dari seorang pribumi sekaligus pangeran Keraton itu membekas di buku sejarah, dan dikenang sebagai pahlawan paling berpengaruh di tanah Jawa.

Perang Diponegoro atau juga biasa disebut Perang Jawa (1825-1830 M) yang menewaskan 200.000 tentara Jawa dan 15.000 tentara Belanda itu berakhir culas.

Ketika  Letnan Hendrik Merkus de Kock mengundang Diponegoro ke Magelang untuk menandatangani perjanjian perdamaian dan mengakhiri permusuhan. Tapi, dia malah ditangkap setelah negosiasi menemui kebuntuan. Tepat 28 Maret 1830 Diponegoro ditangkap, diasingkan, dan dikucilkan.

Pasca penangkapan, Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia, hingga akhirnya dari kota itu dibawa lagi ke tempat pengasingan pertamanya yakni Manado, Sulawesi Utara. Diponegoro dibawa dengan kapal, menyeberangi laut, dan melihat pulau Jawa dari kejauhan. Di situ terjadi perenungan.

Kisah interaksi Diponegoro di atas kapal dengan para pengawal itu kemudian dipentaskan di atas panggung. Kali ini giliran penari kawakan Sardono W. Kusumo menggambarkan Diponegoro yang sudah renta karena diserang penyakit malaria. 

Sardono menari lemah, sesekali dia tersungkur dan tergeletak menegaskan kondisi Diponegoro yang lemah. Kali ini bukan nyanyian yang mengiringi, namun pembacaan Babad Diponegoro oleh dua seniman teater Rachman Sabur dan Hanindawan secara bergantian. 

Apa yang dibaca oleh dua seniman teater dengan tegas dan keras itu merupakan naskah yang penting bagi dunia. Ini ditandai dengan pengakuan Persarikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations sebagai memory of the world.

Artinya naskah Babad Diponegoro sudah dianggap layak dibaca oleh masyarakat global, yang mengandung visi pembebasan kemanusiaan untuk membebaskan bangsa dari kolonialisme.

Sardono W. Kusumo menari menggambarkan kondisi ‘mengenaskan’ pemimpin Perang Jawa. Babak kedua dalam pentas itu menceritakan kisah ketika Diponegoro diangkut dengan kapal layar (korvet pollux) selama dua bulan dua minggu ke Manado.

Bagi seseorang yang dibesarkan dalam kultur darat dan pertanian, perjalanan laut dengan kapal yang sama sekali  tidak nyaman membuat kondisi Diponegoro menjadi sangat rentan. 

Meski kondisi Diponegoro renta, dia tetap bisa menjawab pertanyaan dan dialog dengan para perwira. Dia menampilkan kecerdasan emosi dan spiritual menanggapi para perwira intelijen yang  berusaha untuk membongkar dan menyelami rencana-rencana tersembunyi dari Diponegoro semasa nanti dia diasingkan di Manado dan Makassar.

Sardono menjelaskan dalam perjalanan itu Diponegoro melihat dari kejauhan pulau Jawa dan sekitar merindukan para laskar perangnya ketika masih di medan pertempuran.

“Dalam hati Diponegoro, masih ingin membebaskan tanah Jawa, karena dia tahu di situ masih ada ketidakadilan,” kata Sardono kepada Solopos.com ketika ditemui selepas pentas. Di ujung pertunjukan itu, Sardono secara perlahan dan lirih melafalkan wasiat terakhir Diponegoro.

“Jika aku mati, kuburkan jasadku di Makassar, di samping makam anakku, R.M. Sarkuma. Sertakan juga pusakaku, Kris Bondoyudo, hasil peleburan tiga pusaka sebagai tanda kepercayaan memimpin Jawa. Meski keturunanku berjumlah 18, mereka harus memahami bahwa mewarisi pusaka ini sebagai simbol penguasa tanah Jawa tidaklah mudah. Tak seorang pun dari mereka boleh merasa bahwa dengan sendirinya ia mampu mengemban tugas seberat bapaknya,” ucap Sardono tanpa membaca naskah.



Sardono menjelaskan Wasiat Diponegoro menggambarkan pengalaman Diponegoro yang mengalami panggilan lewat pertemuan dengan Ratu Adil, mendorongnya untuk mengambil risiko sebagai pelaku utama dalam merebut Pulau Jawa dari penjajahan.

Lebih jauh lagi wasiat Diponegoro itu mempertegas bahwa suksesi kepemimpinan tidak mesti diwariskan. Sebab belum tentu anak dari pemimpin sebelumnya yang kemudian diwariskan kekuasaan–disimbolkan melalui pusaka Kris Bondoyudo–bisa paham cara membangun negara. Alih-alih sukses, bisa jadi negara malah kacau balau.

“Kalau dia [Diponegoro] memberikan keris itu [ke keturunannya], bukan berarti yang menerima keris itu akan paham cara memimpin bangsan ini. Jadi sebenarnya tidak harus diwariskan. Pemimpin itu harusnya tumbuh secara organik, tidak diwariskan. Justru pewarisan seperti itu Diponegoro malah menghindari,” jelas Sardono.

Wasiat itu menandai akhir kehidupan pangeran.  Setelah diasingkan di Manado, pemerintah Belanda memutuskan memindahkannya ke Benteng Fort Rotterdam, Makassar. 

Tepat 168 tahun lalu, pada 8 Januari 1855 wafat di pengasingan. Dia dimakamkan di Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan. Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Pentas Wasiat Diponegoro ini merupakan riset performance Sardono W Kusumo, Hanindawan, Rahman Sabur, Peni Candra, Otto Sidharta, Tisna Sanjaya, Eko Supriyanto dan Peter Carey. Mereka sepakat bekerja secara gotong royong dan tidak menerima sponsor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya